Memasuki masa-masa penbukaan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, tentunya membuatku menjadi salah satu orang yang sering ditanya mengenai rekrutmen pekerjaan yang banyak diminati oleh mayoritas penduduk Indonesia Raya. Sebagai salah satu PNS yang sudah bertahan hampir 5 tahun, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah mengenai strategi pemilihan formasi dan bagaimana cara mengerjakan soal-soal seleksi.
Melihat kembali ke tahun 2018, ketika diumumkan bahwa rekrutmen CPNS telah dibuka, tentu ini jadi salah satu kesempatanku untuk ikut. Cita-citaku memang bukan menjadi PNS, tetapi salah satu keinginanku untuk bisa menjadi pegawai tetap. Selama dua tahun menjadi pegawai kontrak per proyek yang penghasilannya kadang ada kadang tidak tentunya menjadi kekhawatiran di masa depan.
Dalam proses pemilihan instansi dan formasi pun tergolong mudah buatku. Pertama, harus formasi S2 karena aku tak mau ijazah S2-ku sia-sia. Kedua, lokasi kerja diprioritaskan di Jakarta atau Bandung. Ketiga, jumlah saingan yang sedikit, tentunya supaya kesempatanku diterima semakin besar. Berdasarkan tiga kriteria tersebut, maka pilihan jatuh pada Analis Perekonomian dengan spesifikasi S2-Ekonomi Regional di Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pada saat itu, aku tidak punya informasi apapun terkait jabatan dan penghasilan. Jadi pada saat itu abru tahu kalau Analis Perekonomian adalah Jabatan Fungsional Umum (JFU) alias Pelaksana alias staf biasa yang penghasilannya di bawah Jabatan Fungsional Tertentu (JFT). Namun, memang sebagai Pelaksana, punya kesempatan untuk berkarir menjadi Eselon 4 dan 3. Pada saat ini, jenjang karir cukup jelas meskipun saat menjadi Pelaksana ini, penghasilan tidak terlalu besar. Bukan tidak bersyukur, tapi untuk mendapat kualitas hidup yang baik di Jakarta, penghasilan tersebut cukup mepet. Namun, tentu penghasilan PNS tidak hanya ditu, ditunjang dengan uang lainlain, seperti uang perjalanan dinas, uang makan, dan uang rapat.
Perubahan paling terasa menyakitkan adalah di tahun 2021. Ini adalah masa terendah dalam kehidupan aku. Mulai dari aturan pusat hingga perubahan kepemimpinan di unit kerja, membuat aku seperti sampah yang tidak berguna. Aku bisa bilang sangat tidak worth jadi PNS. Seperti manusia beintelektual yang dipekerjakan tanpa ada jenjang karir yang jelas.
Mari kita mulai dengan aturan pemerintah. Pada saat itu, pemerintah mengeluarkan aturan baru bahwa sudah tidak ada lagi Jabatan Struktural Eselon 3 ke bawah. Semuanya dikonversi ke Jabatan Fungsional Tertentu. Semua mantan Eselon 3 menjadi JFT Ahli Madya dan Eselon 4 menjadi JFT Ahli Muda. Di tempatku sendiri Eselon 3 dan 4 itu layaknya hadiah karena jenjang karir berdasarkan pangkat dan golongan. Tanpa ada diklan eselon mereka bisa naik jabatan asal pangkat dan golongannya sudah memenuhi. Jadi masih banyak orang yang tidak punya kompetensi kepemimpinan itu bisa menjabat dan dengan mudahnya bisa dikonversi tanpa ujian kompetensi ke JFT Madya dan Muda.
Lalu bagaimanakah nasih para pelaksana yang direkrut dari sarjana maupun magister? Apakah mereka yang lulusan sarjana dengan golongan III/a atau III/b bisa langsung dikonversi jadi JFT Ahli Pertama? Apakah mereka yang lulusan magister dengan golongan III/c bisa langsung dikonversi jadi JFT Ahli Muda?
TIDAK SAUDARA!
Nasib memilukan terjadi bagi para Pelaksana ini. Meskipun seringkali mereka melaksanakan pekerjaan lebih dari tupoksi, digaji hanya sebagai pelaksana, mereka tidak serta merta menjadi JFT. Di instansi, para Pelaksana ini seakan dihambat. Mereka ditunda-tunda untuk bisa melakukan perpindahan ke JFT. Belum lagi aturan pusat menyatakan bahwa para Pelaksana hanya bisa diangkat menjadi JFT Pertama apapun pangkat dan golongannya. Itu bukan dengan mekanisme konversi, tapi tetap harus melakukan uji kompetensi. Berasa sampah rasanya. Aku tidak tahu tujuan aturan ini seperti apa. Tapi sangat terasa hanya melindungi yang senior-senior ini supaya tidak terlangkahi.
Nasib memilukan lainnya terjadi kepadaku.
Aku hanya diperbolehkan menjadi JFT Analis Kebijakan saja, tidak ada pilihan lain. Setelah mengikuti proses sertifikasi Analis Kebijakan Level 6 pun tidak membuat aku dan teman-temanku bisa langsung menjadi JF Analis Kebijakan Muda. Sertifikasi yang hanya membuang-buang waktu tidak ada gunanya. Kami haru stetap mengikuti Ujian Kompetensi, itu pun hanya bisa ke level Pertama.
Aku yang mengikuti Uji Kompetensi dalam keadaan sakit radang tenggorokan dan membuat wawancara tidak maksimal harus menelan pil pahit TIDAK LULUS. Jujur, sangat merasa sedih dan hina. Sebagai lulusan kebijakan publik tapi tidak lulus Analis Kebijakan itu rasanya seperti sampah. Seelah menguatkan diri beberapa hari, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menjadi Analis Kebijakan dan memilih menjadi JFT Perencana. Itu sebagai strategiku untuk pendah kaluar dari unit kerja saat ini. Hal ini dikarenakan di unit kerja saat ini tidak ada formasi Perencana.
Setelah memperoleh persutujan dari Deputi dan Bagian Sumber Daya Manusia, aku mengikuti tes Uji Kompetensi Perencana di awal tahun 2024 setelah di akhir 2023 aku tidak lolos seleksi untuk mengikuti Uji Kompetensi. Sebelum aku mendaftar Uji Kompetensi, aku sudah konfirmasi ke beberapa unit kerja.
Pertama, aku memastikan ke Biro Perencanaan selaku unit kerja yang memiliki formasi JFT Perencana. Pihak mereka menyatakan bahwa ada formasi buat aku ketika aku sudah dinyatakan lulus Uji Kompetensi.
Kedua, aku memastikan ke Biro Hukum dan Organisasi selaku unit kerja yang mengatur seluruh formasi yang ada di instansiku. Mereka mengatakan ada formasi buat aku.
Ketiga, aku memastikan ke Biro Umum, khususnya bagian Sumber Daya Manusia, untuk memastikan apakah aku bisa mengikuti Uji Kompetensi dan memperoleh seluruh berkas persyaratan untuk aku mendaftar.
Ketika semuanya OKE, aku baru mendaftar, mengikuti ujian, hingga akhirnya aku dinyatakan LULUS.
NAMUN, HINGGA SAAT INI DI TANGGAL 3 SEPTEMBER 2024 AKU BELUM DILANTIK DAN DIPINDAHKAN.
Alasan sebelumnya adalah tidak ada formasi sehingga aku tidak termasuk orang yang dilantik. Instansi harus melakukan pengajuan penambahan formasi ke Kementerian PAN RB yang prosesnya lama.
Aku ngedumel. Kok ribet banget sih. Presiden aja bisa ngubah aturan batas umur calon presiden dan wakil presiden kenapa untuk pegawai pemerintahan malah dibuat berbelit-belit sampai tidak jelas begini.
Kabar gembira di bulan kemarin bahwa persetujuan penambahan formasi sudah keluar, tapi tidak ada bau-bau akan pelantikan. Alasannya karena pimpinan sedang sibuk. YA TUHANKU AKU HARUS SABAR SAMPAI KAPAN? BERI AKU TEMPAT KERJA YANG BARU AKU SIAP KELUAR DARI PNS KALAU SEPERTI INI TERUS. Tapi tetap saja aku masih bertahan di sini meskipun rasanya ingin mati saja.
Lalu kenapa aku ingin pindah dari unit kerjaku saat ini?
Keinginanku untuk pindah dari unit kerja saat ini tuh sejak tahun 2021. Aku merasa secara lingkungan pekerjaan aku merasa tidak cocok karena semenjak kepemimpinan baru ini hal-hal yang diluar ideal dan norma sering terjadi. Aku ingin menjauhi hal tersebut dengan mengajukan permohonan pindah unit kerja. Tentu meskipun hanya staf, kami punya hak untuk mengajukan permohonan pindah unit kerja dengan tujuan meningkatkan peforma. Tapi ternyata hal tersebut malah jadi bom atom buat aku sendiri. Sensitivitas pimpinan membuat aku dikerdilkan. Ya sebenarnya, meskipun beliau melakukan hal tersebut, aku tetap menerima gaji, namun mental aku yang jadi lecet aja.
Lalu kenapa aku bisa kuat menghadapinya hingga sekarang?
PUNYA CICILAN SALAH SATUNYA. HAHAHA.
DAN BELUM ADA KESEMPATAN BEKERJA TETAP DI TEMPAT LAIN.
Tapi Allah Maha Baik.
Dibalik mental yang semakin rusak.
Aku dikasih kesempatan untuk freelance di tempat lain. Menjadi data analyst di lembaga penelitian dan menjadi tutor di perguruan tinggi. Freelance tersebut sangat menghargai aku sebagai profesional dibanding kerja di PNS yang tidak menghargai aku sama sekali. Dua tahun pertama jadi PNS aku bekerja dengan baik, tidak ada harganya, hanya jadi sampah di mata pimpinan yang moody-an. Kekurangan aku adalah tidak bisa menjadi PENJILAT. Ya karena dari pekerjaan aku sebelumnya, aku cukup dipandang pimpinan ya karena KINERJA bukan air liur berbisa sang penjilat.
Setiap paragraf yang aku ceritakan ini, aku harus inhale and exhale untuk menenangkan diri.
Aku pun sadar betul, tulisan ini mungkin bisa mempengaruhi recruiter dalam memandang aku. Semoga para recruiter pun bisa bijak dalam mencari pekerja. Kalau mau pekerja yang sempurna ya udah pake robot aja haha. Untuk saat ini aku tidak peduli, jika dengan terpaksa aku harus bertahan sebagai PNS tidak masalah. Aku masih bisa mencari freelance untuk menambah penghasilan aku.
Satu hal yang aku harapkan dari tulisan ini adalah kita harus bisa aware sama kesehatan mental para pekerja apalagi di lingkungan yang toxic. Orang yang bertahan bukan berarti hebat, orang yang keluar bukan berarti lemah. Jika melihat perilaku Gen Z di dunia kerja, itu bentuk ekspresi mereka. Sebelum Gen Z seperti aku, mungkin bisa bertahan karena kebutuhan, tapi sakit mentalnya mungkin terlihat di kehidupan rumahnya. Makanya teman-temanku yang Gen Milenial ini banyak yang cerai karena KDRT, mungkin penyebabnya karena stress di kantor. Boomers dan Gen X juga banyak yang stress pada saat masa perang dan masa krisis ekonomi. Mereka bertahan karena kebutuhan. Apakah mereka hebat? Ya enggak juga, bisa saja jadi KDRT, penyimpangan agama, atau lainnya yang tidak terekspos seperti zaman melek teknologi saat ini.
Lalu bagaimana kondisi aku saat ini?
Sejujurnya tidak baik-baik saja, tetapi aku bisa menahan diri untuk overthinking dan melakukan hal yang di luar nalar. Caranya dengan olah raga, menulis seperti ini, bertemu teman-teman di luar kantor, dan melakukan aktivitas lain yang bisa melupakan hal-hal buruk.
Sampai saat ini aku mencoba menutup mata, menutup kuping, dan menahan diri dari kekesalan yang terjadi. Apalagi dengan kelakuan rekan kerja yang semakin dzalim. Ya, aku juga sadar, mungkin ini hanya pikiran aku. Aku terus berusaha meredam pikiran negatif ini, dan lebih berusaha mennangkan diri aja untuk saat ini.