Selasa, 26 November 2019

Bangun Daerah dengan Pinjaman Daerah


Upaya membangun daerah terus dilakukan oleh pemerintah. Namun, itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Padahal infrastruktur merupakan kebutuhan dasar. Pendapatan asli daerah umumnya tidak mampu membiayai pembangunan infrastruktur. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan sumber pembiayaan lain. Salah satunya adalah dengan meminjam. Karena infrastruktur sama dengan belanja modal, maka ketika infrastruktur tersebut digunakan pendapatan daerah pun akan meningkat dan dapat membayar pinjaman tersebut.

Sayangnya, pinjaman atau hutang memang selalu dipandang negatif. Bagaimana tidak, angsuran besaran pinjaman dan bunganya dianggap membebankan masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan hukum atas riba. Dengan kata lain, masyarakat menganggap pemerintah yang menghutang tapi masyarakat yang harus membayar. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun tidak bisa digeneralisasikan seperti itu juga. Sesungguhnya pemerintah berupaya menyediakan infrastruktur sebagai kebutuhan dasar masyarakat. Namun, dana yang dimiliki tidak mencukupi dan banyak peminjam yang mau meminjamkan uangnya untuk pembangunan, maka pinjaman adalah jalan yang dinilai tepat. Mohon maaf, saat ini mari kita kesampingkan terlebih dahulu hukum atas riba dan melihat substansi mengenai pinjaman daerah.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah sebagai alternatif pendanaan APBD untuk menutupi desfisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan kekurangan arus kas. Sepenuhnya merupakan inisiatif pemerintah daerah yang terpenting taat peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak dapat serta merta melakukan pinjaman, ada syarat-syarat tertentu yang dipenuhi. Hal ini juga terkait antisipasi kredit macet. Maka dari itu, pemerintah daerah harus transparan, akuntabel, efisien dan efektif, serta memengang prinsip kehati-hatian karena semua arus kas akan tercatat dalam APBD. Tentu pemerintah daerah harus sadar atas proyek apa yang akan dibangun dan kapasitas fiskal yang dimiliki.

Pemerintah daerah harus melakukan kesepakatan dengan pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman bisa dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, lembaga keuangan bank, maupun lembaga keuangan bukan bank. Namun, pemerintah tidak dapat melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Dalam kesepakatan tersebut dibuat perjanjian pinjaman yang perlu persetujuan Menteri Keuangan yang menilai berdasarkan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah. Besar pinjaman pun tidak boleh melebihi besar penerimaan APBD tahun sebelumnya.

Syarat lainnya yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman adalah tidak boleh mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari pemerintah. Selain itu, dalam melakukan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang, pemerintah daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD dan mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Untuk memperoleh persetujuan dari DPRD, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri diperlukan syarat-syarat yang tidak sedikit. Namun, itu semua akan terpenuhi sesuai dengan urgensi pemerintah daerah yang akan melakukan pinjaman.

Pemerintah daerah berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya dalam membangun infrastuktur. Pemerintah daerah menyadari bahwa uang yang dimiliki daerah tidak mampu untuk membiayai proyek infrastruktur. Tuntutan kebutuhan masyarakat membuat pinjaman menjadi alternatif yang bisa dilakukan. Dalam melakukan pinjaman pun banyak syarat yang harus dilakukan pemerintah daerah, khususnya menyadari diri mengenai kapasitas fiskalnya. Tentu saja pemerintah daerah memerlukan dukungan dari masyarakatnya. Utamanya menjadi lebih produktif saat infrastruktur yang dibangun tersebut sudah melayani masyarakat dengan baik.

Minggu, 24 November 2019

Balada Pria di Transportasi Publik




Ketika seorang pria menggunakan transportasi publik, dia tidak mempunyai hak atas tepat duduk. Hal ini dikarenakan sistem telah membentuk satu komponen prioritas, yaitu wanita. Saya tidak tahu, apakah ini hanya terjadi di Indonesia atau terjadi di negara berkembang lainnya, atau bahkan hal ini terjadi di negara maju.

Secara aturan, terdapat empat orang prioritas yang wajib diberikan tempat duduk di transportasi publik, yaitu lansia, difabel, ibu yang sedang hamil, dan ibu yang menggendong anak. Namun, sistem membentuk satu komponen lagi dalam deretan prioritas, yaitu wanita.

Saya tidak bermaksud men-diskredit-kan wanita. Tapi kenyataanya, wanita seolah-olah menjadi jajaran dalam daftar prioritas. Contoh riilnya adalah seperti kejadian yang saya alami sendiri di KRL. Ketika saya naik KRL, saya mendapati tempat duduk kosong tanpa berebut, saat itu kondisi kereta lengang. Tidak ada lagi tempat duduk kosong dan ada beberapa penumpang yang berdiri di dekat pintu. Di stasiun berikutnya masuklah beberapa orang penumpang, salah satunya adalah seorang wanita pekerja sekitar umum 30 tahunan. Dia berdiri di depan saya. Saya sangat merasa kalau wanita ini memberikan isyarat bahwa dia ingin duduk. Tapi saya tidak beranjak, toh dia wanita muda dan bukan prioritas. Jikalau dia sedang hamil, pasti dia bilang atau dia berjalan menuju kursi prioritas di ujung gerbong. Dia menatap saya lama dan setelah dia tidak berhasil, dia berjalan menuju ujung gerbong dan berdiri di depan seorang pria. Tak kuat, akhirnya pria itu berdiri dan memberikan kursi pada wanita tersebut.

Contoh riil kedua adalah ketika saya sedang naik bus TransJakarta. Pada saat itu, penumpang cukup ramai dan saya pun berdiri. Ketika bus berhenti, ada beberapa penumpang yang turun. Ketika bus berjalan kembali, tiba-tiba terjadilah keributan di kursi bagian belakang. Seorang pria dan seorang wanita berebut satu kursi kosong. Seorang pria bersitegas bahwa dia yang berhak memperoleh kursi tersebut karena dia lebih tua sedangkan seorang wanita bersitegas bahwa dia yang berhak memperoleh kursi tersebut karena dia seorang wanita. Para penumpang yang duduk di bagian belakang hanya melerai dan memanggil petugas. Sang petugas pun akhirnya hanya melerai tanpa memberikan solusi karena dia pun serba salah jika membela salah satu pihak. Salah satu penumpang mencoba menyelesaikan masalah dengan keputusan "...Bapak ngalah aja karena Bapak laki-laki...". Salah satu penumpang lainnya akhirnya berdiri dan memberikan tempat duduknya.

Sistem seperti ini dapat membuat partisipasi pria dalam menggunakan transportasi publik menjadi rendah. Hal ini dapat meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi. Saya memang belum melakukan survei tentang hal ini. Tapi beberapa kali saya mengamati, hal tersebut memang terbukti. Saat saya menggunakan angkutan kota di Bandung, Jakarta, dan Tangerang, hampir 90% penumpangnya adalah wanita. Begitu pula ketika saya menggunakan kendaraan bermotor, hampir 90% yang menggunakan kendaraan bermotor adalah seorang pria. Apakah penggunaan kendaraan bermotor tidak hanya dipengaruhi oleh prinsip efisiensi atau adakah tekanan di transportasi publik karena 'sistem' ini? 

Setelah lama menggunakan kendaraan pribadi, akhirnya saya menggunakan transportasi publik kembali. Di masa-masa sekarang ini, tekanan publik akan sistem tersebut jauh lebih mencekam. Hal ini bisa terjadi jika saya tetap idealis hanya akan memberikan kursi pada 4 prioritas dan tidak memberikan pada wanita sehat. Bisa saja ada yang merekam kemudian diunggah ke dunia maya dan menjadi viral. Hujatan netizen bisa saja melayang ke saya dan menjadi pisau belati yang mematikan.

Ancaman agen-agen lambe turah ini juga sangat mengancam kita semua. Seperti contoh, seorang wanita muda sedang duduk di kursi KRL. Tiba-tiba ada wanita tua yang berdiri dihadapannya. Wanita muda itu menawari wanita tua itu untuk duduk, namun wanita tua itu menolak dengan alasan sudah terlalu lama duduk dan ingin berdiri. Wanita muda tersebut, akhirnya meninggalkan kursinya dan pindah ke gerbong lain. Hal ini tentu merupakan langkah yang tepat karena hengpong jadul bisa saja merekam dan memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Sistem ini juga mengajari pria untuk melakukan taktik baru, yaitu pura-pura tidur. Duduk di kursi dan dalam dua detik langsung tidur. Dibangunkan pun tidak akan bangun karena memang pura-pura. Tentu ini adalah sikap yang sangat salah untuk menghindari tekanan. Keburukan tidak boleh dibalas dengan keburukan.

Memang tidak sedikit wanita yang menolak sistem tersebut. Namun, jauh lebih banyak wanita yang merasa diuntungkan dengan sistem tersebut bahkan banyak pria yang tunduk pada sistem tersebut. Kita sadar bahwa pola pikir masyarakat masih terbelakang tapi kita bisa mengubahnya dengan kesadaran kita sendiri. 

Rabu, 06 November 2019

Lika-liku Hutang Piutang


Cerita tentang tukang hutang memang tidak pernah ada habisnya. Ada saja berbagai cerita yang saya dengar dan semakin memperkuat keyakinan untuk tidak memberikan hutang kepada siapapun tanpa terkecuali.

Apakah keluarga inti dikecualikan? Tidak! Untuk keluarga inti tidak perlu dihutangi, berikan saja langsung tanpa minta untuk dikembalikan.

Meminjam kepada teman memang menjadi pilihan banyak orang. Sudah jelas tanpa ada bunga, jaminan, dan jatuh tempo. Bilapun ada janji waktu pelunasan, tapi masih bisa dinego dengan "pertemanan". Tidak ada jaminan semakin meningkatkan potensi untuk kabur. Jadi, risiko terbesar adalah bagi pemberi pinjaman. 

Berbeda bila kita meminjam dengan keluarga. Walaupun sama tanpa ada bunga, jaminan, dan jatuh tempo, tapi secara langsung nama keluarga menjadi jaminan. Sekalinya peminjam kabur, pemberi pinjaman dapat menagih ke keluarganya terdekat. Upaya peminjam untuk kabur sangatlah sulit.

Kadang kitapun tak tega melihat teman atau sahabat sendiri yang benar-benar sedang mengalami kesulitan keuangan. Namun sesulit apapun yang terlihat, lebih baik tidak. Beberapa pengalaman membuktikan, teman yang bilangnya membutuhkan uang untuk makan atau motornya rusak, tapi tidak digunakan untuk urgensinya tersebut. Mereka pernah kepergok sedang makan di tempat mewah atau berada di diskotik pada hari yang sama mereka meminjam uang.

Hal ini juga sama seperti cerita PNS yang dicor di makam oleh seorang temannya yang honorer. Setelah sang PNS itu menagih hutang si honorer yang meminjam uang untuk membeli mobil di sebuah lelang. Mobilnya tidak ada karena uangnya dipakai untuk foya-foya.

Tapi bagaimana kalau sudah terlanjur meminjamkan uang? Sebesar apapun, coba ikhlaskan dan jadikan pelajaran untuk tidak pernah untuk meminjamkan uang lagi. Hal ini pernah terjadi juga pada saya. Seorang teman SMA yang sudah lama tidak berhubungan, tiba-tiba menghubungi lewat Facebook. Saya balas 3 hari sekalipun dia tetap menghubungi saya untuk meminjam uang. Karena atas dasar kasihan, saya beri pinjam sebesar 200 ribu. Sudah hampir 2 bulan tidak dikembalikan dan dia tidak pernah mengontak saya lagi. Saya ikhlaskan karena setelah lulus SMA dia hidupnya cukup susah.

Kejadian serupa pernah terjadi pada teman saya. Dia meminjamkan uang pada temannya hingga sejumlah jutaan rupiah. Namun ketika ditagih si peminjam jauh lebih galak, ngata-ngatain miskin dan tidak sabaran. Ketika dinasihati dengan agama dan akhiratpun tidak mempan. Saya beri nasihat untuk diikhlaskan, tapi pemberi pinjaman sepertinya tidak ikhlas karena jumlahnya yang besar dan dia merasa kerja kerasnya sangat tidak dihargai.

Namun, ada pula teman saya yang memberi pinjaman dan mencoba ikhlas tidak dibayar setelah saya sarankan untuk ikhlas. Saya tidak mau membuat teman saya ini menyesal karena telah memberikan pinjaman tapi lebih menyarakan untuk ikhlas dan tidak akan pernah meminjamkan uang lagi. Kasusnya adalah teman kerjanya meminjam uang sebesar 1 juta untuk makan. Karena makan adalah kebutuhan utama, otomatis teman saya iba dan memberikan pinjaman. Setelah memperoleh banyak info yang beredar, ternyata si peminjam adalah si tukang hutang. Banyak kredit yang dia ambil. Salah satunya adalah kredit mobil untuk orang tuanya. Apakah harus membeli barang mewah untuk membahagiakan orang tua sedangkan kita sendiri harus pinjam sana-sini untuk barang pokok?

Saya pun pernah meminjam uang yang cukup besar pada teman dan itu adalah yang pertama dan terakhir kalinya. Pada saat itu, ponsel saya rusak dan harus membeli yang baru. Saya belum berpenghasilan tapi sangat membutuhkan ponsel. Iseng-iseng saya pinjam uang pada teman sebesar 2 juta. Dipinjemi tapi dia ngomel-ngomel karena jumlah uang saya pinjem menurutnya terlalu besar. Setelah membeli ponsel seharga 2 juta saya sangat merasa tidak nyaman. Saya menjanjikan untuk membayar minggu depan. Ada ancaman pada saat itu. Akhirnya saya bilang ke orang tua dan meminjam uang untuk membayar hutang pada teman. Minggu depannya orang tua meminjamkan uang cash pada saya. Tanpa pikir panjang saya berikan uang tersebut untuk membayar hutang. Semenjak itu saya tidak pernah mau meminjam uang pada teman lagi.

Meminjam uang tanpa bunga, jaminan, dan jatuh tempo itu berlaku pada orang tua. Tanpa menjanjikan waktunya kapan, saya hanya bilang akan membayar pada saat honor kerjaan cair. Dua bulan kemudian honor kerjaan cair dan saya langsung membayarnya.

Sedekat apapun kita pada teman jangan pernah sekalipun meminjamkan uang. Karena uang itu candu, sekalinya minjam pasti akan keterusan dan semakin sulit ditagih. Semakin keras menagih, si peminjam akan jauh lebih keras untuk tidakau membayar. Jangan pernah ada rasa kasihan untuk itu. Jika alasannya untuk makan, lebih baik ajak makan bareng dan bayari. Jangan pernah berikan uang tunai. Belum tentu penggunaannya sesuai dengan urgensi. Apabila terlanjur, silahkan coba untuk mengikhlaskan dan berdoa untuk memperoleh penggantinya yang lebih baik lagi.

Budayakan pula menabung. Saat kita butuh uang secara mendesak, kita punya cadangan. Jika tidak, pilihlah keluarga inti untuk dipinjami, tapi tetap harus dibayar ya. Dilihat sisi positifnya, meminjam pada bank juga adalah salah satu yang tepat. Setidaknya ada jatuh tempo kapan kita membayar yang membuat kita patuh dan tidak terlena dengan uang yang kita pinjam. 

Minggu, 03 November 2019

Cerita Jatuh Bangun Kehidupan


Setiap orang punya jalan hidup yang berbeda-beda. Jatuh dan bangun adalah hal yang biasa dialami. Semua lika-liku kehidupan itu hanya diri sendiri yang memahami. Banyak orang lain di luar sana merasa jalan hidup kita lurus dan mudah dalam menggapai impian. Hal ini sangat saya rasakan. Banyak orang melihat jalan hidup saya sangat lurus dan lancar tanpa ada kendala. Kenyataannya, saya sudah tidak memikirkan apa yang saya impikan, cukup bagaimana caranya melalui kehidupan ini yang terus berjalan tiap detik ini saja sungguh sangat melelahkan.

Apa yang dipikirkan orang lain tersebut memberikan pelajaran pada diri saya. Ketika orang lain berpikir jalan saya begitu lurus, saya pun tidak boleh berpikir jalan orang lain pun lurus dan sangat indah. Yakinlah bahwa setiap orang punya proses masing-masing dan orang tersebut pasti sangat kuat usahanya. Selain itu, biarkanlah cerita perjuangan ini jadi motivasi khususnya bagi diri sendiri karena setiap jalan cerita kehidupan memberikan kenangan indah tersendiri.

Pada tulisan kali ini, saya akan menceritakan secara singkat tentang kehidupan pribadi. Bahwa memang benar, hidup itu up and down serta apa yang diinginkan kita mungkin kurang baik atau kurang tepat diperoleh menurut Tuhan. Namun, yakinlah bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik pada umatnya jika mau mencoba, berdoa, dan berusaha. Tak ada usaha yang mengkhianati hasil.

Kegagalan Masuk SMP Favorit

Sejak umur 1 tahun saya tinggal di Kabupaten Bandung. Namun urusan sekolah, mama yang menentukan. Meskipun kami hidup dengan kesederhanaan, mama tidak mau menyekolahkan anak-anaknya dekat rumah karena kualitasnya. Bahkan, Kota Cimahi yang jauh lebih dekat dengan rumah, mama tidak mau, pokoknya anak-anak harus sekolah di Kota Bandung walaupun biaya sekolahnya lebih mahal ditambah lagi ada ongkos perjalanan karena rumah dan sekolah cukup jauh.

Saya bersekolah di SD negeri yang berada di pusat kota dengan waktu perjalanan sekitar 1,5 jam dari rumah bila naik angkutan umum. Mama-papa memang tidak terlalu mengintervensi kehidupan sekolahku karena pada saat itu papa harus kehilangan pekerjaanya dan mama harus berjualan di pasar. Pesan terpenting yang diberikan adalah bahwa anaknya harus belajar sesuai dengan kemampuannya tanpa ada paksaan untuk menjadi ranking 1. Saya pun belajar biasa saja, namun memang menjadi salah satu siswa yang terbaik di kelas walau tidak ranking 1.

Cara berpikir mama dalam memilih sekolah terpatri dalam diri saya. Sejak saat itu, saya sudah menentukan ingin bersekolah di SMP dan SMA terbaik nomor 2 di Kota Bandung. Tidak memilih yang nomor 1 karena sadar diri. Namun, setelah saya berusaha semaksimal mungkin untuk masuk ke sekolah favorit itu, ternyata gagal. Saya hanya bisa masuk sekolah pilihan dua, ya walaupun sekolah itu masih favorit tapi saya sungguh kecewa.

Ketika ditempatkan di SMP, sebenarnya saya masuk kelas unggulan nomor dua  tapi kekecewaan gagal masuk SMP yang diinginkan masih mendarah daging sehingga prestasi di kelas VII tidak memuaskan. Bahkan saya masuk 5 terendah di kelas.

Hal yang perlu disyukuri adalah ketika saya memutuskan untuk ikut ekstrakurikuler PMR. Sebenarnya itu bukan ekskul pilihan saya, namun akhirnya bisa loyal hingga lulus SMP. Hal ini dikarenakan saya mendapatkan teman-teman yang sudah seperti keluarga. Kekecewaan masuk SMP itu sirna karena adanya teman-teman yang sangat baik melebihi teman-teman saat saya SD.

Kegagalan Masuk SMA Favorit

Prestasi saya saat SMP mulai meningkat. Dari sinilah kepercayaan diri masuk SMA kluster 2 mulai membara. Pada saat itu, sistem pendidikan di Kota Bandung memperbolehkan calon siswa memilih tiga pilihan yang tiap pilihannya harus dalam satu kluster. Tiap pilihan secara berhierarki sesuai dengan hierarki kluster. Pemilhan kluster 2 sebagai pilihan pertama sudah tepat karena hasil UN saya standar. Pada saat UN, saya sangat menyesal karena benar-benar mengerjakannya sendiri. Tidak mengikuti saran orang lain yang katanya memperoleh kunci jawaban. Penyesalan itu bertambah menjadi kekesalan karena nilai UN itu mendorong saya masuk pada pilihan ketiga yang ada di kluster 4. Otomatis saya masuk sekolah yang tidak favorit. Pada saat itu, saya ditawari masuk SMA terbaik di Cimahi melalui jalur kenalan papa. Tapi saya menolak karena saya lebih memilih sekolah di Bandung. Saya semakin menyesal karena menyadari sekolah terbaik di Cimahi itu selevel dengan sekolah kluster 1 di Bandung.

Saat di SMA saya berusaha mensyukurinya. Hal ini terbukti saya mendapat sahabat baik, bisa menjadi siswa berprestasi, dan dipercaya oleh guru untuk mengikuti event-event tertentu. Saya pun kembali bangkit dari keterpurukan dan belajar dengan sungguh-sungguh. Pada kelas X saya bisa mencapai ranking 1, namun tidak di kelas XI dan XII. Hal ini karena ada salah satu siswa yang melakukan gratifikasi kepada wali kelas supaya dia bisa ranking 1. Pada saat itu saya tidak peduli karena masuk kuliah tidak dinilai dari peringkat. Hal ini dikarenakan saya sudah memutuskan untuk mengikuti SNMPTN. Saya tidak berusaha seperti siswa lain yang memohon untuk mark-up nilai untuk PMDK karena program studi yang ditawarkan lewat jalur PMDK tidak menarik minat saya.

Kegagalan Masuk Universitas Negeri dan Ketidakpercayaan Diri Memilih Program Studi

Memang ada rasa kesal ketika melihat hasil UN SMA yang rerata 80. Apalagi jika dibandingkan dengan teman saya yang prestasinya lebih rendah yang nilai UN-nya di atas saya. Namun, saya mencoba membela diri. Hal terpenting adalah lulus SMA karena masuk kuliah tidak ditentukan dengan nilai UN.

Kekesalan saya semakin berkecamuk ketika hasil SNMPTN menyatakan saya tidak lolos satupun dari dua pilihan. Sungguh sangat menjengkelkan. Ditambah lagi suara-suara yang menyatakan keanehan bahwa orang seperti saya bisa gagal ujian. Namun, orang tua saya tetap memberikan semangat. Ketika saya memutuskan untuk tidak kuliah dan fokus untuk SNMPTN tahun depan, orang tua menolak dengan keras. Saya harus kuliah walau harus di universitas swasta. Kekecewaan membuat saya buta sehingga pilihan prodi saya serahkan pada orang tua. Saya diarahkan untuk mengambil teknik mesin di kampus swasta. Saya pun lolos dan jadi mahasiswa teknik mesin. 

Sebenarnya, saya tidak terlalu cocok dengan teknik mesin. Tapi, saya terus mengikuti proses perkuliahan. Sampai semester 2 saya memperoleh IP di atas 3,5. Di semester 3 saya memutuskan untuk ambil SKS penuh dan disetujui oleh dosen pembimbing. Namun, mama saya menawarkan kesempatan lain untuk mengikuti SNMPTN lagi. Awalnya saya tidak mau, namun mama memaksa untuk ikut. Akhirnya saya putuskan untuk ikut. Pilihan universitas dan prodi sepenuhnya adalah keputusan saya. Mama tidak ikut campur. Atas dasar pertimbangan tahun lalu, niat ambil kembali prodi teknik mesin atau teknik sipil harus digagalkan. Saya putuskan untuk ambil Teknik Planologi di Yogyakarta. Saat pengumuman, ternyata saya berhasil lolos. Orang tua sangat senang meskipun mama agak kecewa ketika saya harus pergi merantau. Namun, orang tua yakin bahwa itu pilihan terbaik anaknya.

Saat pertama kali belajar mengenai teknik planologi, ada rasa ketidaksesuaian diri dengan prodi yang diambil. Di tahun pertama, IP saya hanya 3,3 tidak sesuai dengan target. Di semester berikutnya saya mencoba memperbaiki diri dan bisa lulus 8 semester degan predikat cumlaude.

Belum Adanya Kesempatan Untuk Menjadi Pegawai Tetap dan Keputusan Untuk Mengambil Magister

Setelah lulus kuliah, saya ditawari bekerja kontrak di konsultan perencanaan di Bandung. Ini merupakan kesempatan emas untuk kembali ke Bandung. Kontraknya hanya 4 bulan. Setelah kontrak berakhir, iming-iming sang manajer untuk mengajak saya dalam proyek memang hanya iming-iming. Setelah itu, saya menganggur, mencoba melamar sana-sini, pergi ke jobfair. Pada saat itu, saya masih memegang teguh untuk bekerja di bidang yang sesuai. Inginnya bekerja di BUMN konstruksi atau pengembang, namun selalu gagal.

Saat uang benar-benar habis, untungnya senior saya mengajak untuk bergabung di konsultan lagi dengan kontrak 2 bulan. Saya iyakan walau harus hijrah ke Jakarta. Setelah kontrak berakhir, orang tua menyarankan untuk mengambil magister dengan biaya sendiri. Saya menolak dan ingin mencari beasiswa terlebih dahulu. Saya mencoba mendaftar LPDP, namun gagal karena TOEFL tidak memadai. Akhirnya saya mengambil tawaran dibiayai orang tua. Namun saya memilih kampus di Jakarta yang biayanya cukup mahal. Walau agak keberatan orang tua akhirnya setuju. Saya meyakinkan bahwa saya akan dapat beasiswa Kemendikbud karena TOEFL saya sesuai. Sayangnya ketika saya mendaftar beasiswa tersebut, Kemendikbud mengubah batas bawah nilai TOEFL dari 450 ke 500, otomatis saya gagal.

Pilihan kampus Jakarta dengan pertimbangan agar saya bisa sambil bekerja. Dalam memilih prodi pun saya pikirkan matang-matang. Saya keluar dari zona nyaman dan memutuskan untuk kuliah ekonomi terapan di prodi Perencanaan dan Kebijakan Publik. Ketika berhasil diterima di program magister sungguh sangat senang, namun ternyata ini adalah tantangan baru dalam hidup saya. Saya harus belajar ekonomi yang membuat otak melilit, saya harus hidup dengan segala keterbatasan karena uang bulanan dari orang tua hanya 2 juta termasuk kost, dan mencari pekerjaan untuk menambah pundi-pundi. Selama kuliah saya tidak mendapat pekerjaan, sempat ditolak di perusahaan swasta, dan diterima menjadi guru privat. Menjadi guru privat pun tidak semudah itu karena pelajaran yang saya ampu tidak banyak diminta oleh siswa, ditambah lagi pengajar laki-laki tidak diminati. Pencarian beasiswa pun tidak berhenti, ada tawaran beasiswa Tanoto Foundation bagi mahasiswa on-going. Saya berhasil hingga tahap interview dan setelah itu saya kembali menelan pil kepahitan karena saya gagal memperoleh beasiswa. 

Untungnya ditengah liburan semester, saya kembali ditawari membantu konsultan perencanaan dengan kontrak selama 2 bulan. Setidaknya ada tambahan pundi-pundi dalam tabungan saya.

Terus Mencoba Melamar

Saya memutuskan untuk lulus kuliah di semester 3 dan itu berhasil. Jeda waktu menunggu wisuda yang tiga bulan lagi sungguh sangat lama apalagi dalam keadaan menganggur. Saya mencoba melamar sana-sini di berbagai perusahaan termasuk di instansi pemerintah. Selama 3 bulan itu ada satu panggilan kerja dari instansi pemerintah. Saya disuruh mempersiapkan diri untuk wawancara via Skype dengan nomor urutan ke-7. Namun, saya tidak dipanggil lagi karena sudah ada kandidat yang terpilih lebih dahulu.

Kegiatan saya hanya merevisi tesis hingga selesai, mengikuti seminar tenaga kerja, atau mengikuti seminar hasil di kampus. Pada saat itu uang sudah sangat menipis. Saya sudah mendaftarkan 2 konferensi dengan mengirimkan tesis saya. Konferensi di Yogyakarta harus saya tidak hadiri karena keterbatasan ongkos menuju sana. Saya hanya hadir yang di Bogor.

Sehari sebelum gladiresik wisuda atau dua hari sebelum acara konferensi di Bogor, saya ditelpon oleh salah satu instansi pemerintah untuk hadir wawancara. Saya pun memastikan hadir sesuai jadwal, yaitu jam 9 dan izin jam 13 ada gladiresik wisuda. Setelah wawancara, akhirnya saya pun diterima di instansi tersebut dan dapat bekerja di awal September 2018. Walaupun gajinya kecil, saya terima saja. Saya melupakan latar belakang pendidikan, gaji sebelumnya, dan apapun itu karena ini pertama kalinya saya bekerja langsung di instansi pemerintahan dan supaya tidak menganggur.

Di tengah perjalanan saya bekerja, dibukalah penerimaan CPNS 2018. Tentu ini ini menjadi salah satu yang wajib dicoba. Saya pun mencobanya dengan mendaftar sebagai analis perekonomian dengan kualifikasi S2 ekonomi regional. Untungnya, nama prodi di ijazah yang berbeda dengan kualifikasi tidak menjadi masalah. Pada saat itu ada kepasrahan gagal seleksi berkas, namun bila ada adu argumen saya siap karena kekhususan yang saya ambil saat kuliah adalah ekonomi perencanaan kota dan daerah.

Tahap berikutnya adalah Seleksi Kompetensi Dasar (SKD). Sudah belajar mati-matian ternyata saya hanya memperoleh predikat P2, artinya salah satu kelompok ujian tidak sesuai dengan passing grade, namun lolos secara nilai total. Hal ini dikarenakan nilai Tes Karakteristik Pribadi (TKP) di bawah passing grade. Masih ada harapan untuk lulus tapi sangat kecil. Saya lupakan kesempatan jadi PNS. Ternyata SKD saya lulus dan bisa mengikuti tes psikologi dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Hasil tes psikologi hanya pihak penyelenggara saja yang mengetahui sedangkan hasil SKB langsung muncul setelah ujian selesai. Dan hasilnya, saya hanya memperoleh skor 45%. Pupus sudah harapan menjadi PNS. Ketika hasil akhir diumumkan, ternyata saya lulus dengan predikat P2/L. Saya bersyukur karena akhirnya bisa menjadi pegawai tetap.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, PNS bukanlah cita-cita tapi suatu kesempatan. Pendidikan dan pekerjaan yang telah saya lakukan selalu berhubungan dengan pemerintah dan masyarakat membuat pilihan PNS sebagai salah satu pekerjaan yang saya coba. Tapi ujian tidak berhenti di situ. Substansi yang saya bayangkan dengan kenyataan ternyata bertolak belakang. Saya perlu effort yang lebih ekstra untuk mengikutinya. Overthinking menjadi kelemahan saya, membuat 5 bulan pertama saya merasa blank bekerja. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan informasi dan keterbatasan fasilitas di instansi pemerintah yang baru ini membuat gairah kerja dan belajar saya melemah.

Saat ini, saya mencoba berpikir ulang tentang apa yang saya alami dan saya dapatkan selama hidup. Saya merasa kurang bersyukur atas nikmat yang diberikan. Saya mencoba mensyukuri dan ikhlas. Ternyata itulah kuncinya. Overthinking diminimalisir dan saya bisa bekerja menjadi lebih baik. Saya ikhlas dan pasrah pada takdir Tuhan. Sampai sekarang saya bahagia bisa bekerja di instansi tersebut karena memiliki rekan kerja yang baik. Memang pasti ada drama di setiap perkantoran, khususnya di level atas. Namun, itu semua dapat dihindari yang penting memperkuat di level staf.

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku tentang Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepatn...