Rabu, 08 Januari 2020

Perjalanan Pontianak - Entikong - Sanggau


Kawasan perbatasan negara menyimpan cerita tentang kehidupan masyarakat yang jauh dari hingar-bingar perkotaan.
Setelah dua kawasan perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste yang saya kunjungi pada tahun 2016 dan 2017, saya diberi kesempatan untuk dapat mengunjungi kawasan perbatasan lainnya di akhir tahun 2019. Saya mengunjungi Entikong, kawasan perbatasan negara di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung secara darat dengan Malaysia. Secara umum, Entikong jauh lebih baik dibandingkan dengan Motaain dan Wini yang pernah saya kunjungi. Masyarakatnya jauh lebih sejahtera. Namun, tetap masih ada hal-hal yang cukup miris dan harus segera diperbaiki demi kedaulatan bangsa.

Setelah mendarat di Bandara Supadio Pontianak, saya bersama tim langsung menuju Entikong melalui jalur darat. Jarak antara Kota Pontianak dan Entikong, yaitu 255 km dengan waktu tempuh sekitar 7 jam. Hal ini memang sangat tidak normal karena pada saat itu terjadi banjir di beberapa titik jalan sehingga kendaraan yang akan lewat harus berjalan bergantian. Entikong sendiri hanya bisa diakses melalui jalur darat karena tidak ada bandara kecil atau perintis terdekat. Sesampainya di Entikong, kami disambut oleh pihak BPD Kalimantan Barat yang sekaligus mengawal kegiatan kami ini.

Sekedar informasi, tim kami bertugas untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi KUR dan dana desa di Pontianak, Entikong, dan Sanggau. Secara acak, kami melihat bagaimana proses penyaluran KUR dan penggunaannya oleh debitur. Selain itu, kami mengunjungi beberapa desa untuk mengetahui penggunaan dana desa.

Tujuan pertama kami mengunjungi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. PLBN yang sudah berdiri megah ini menjadi kantor bersama, seperti bea cukai dan juga imigrasi. Kami diberi kesempatan untuk bertemu Kepala PLBN Entikong. Beliau menceritakan bahwa lalu lintas di PLBN Entikong tergolong ramai. Hal ini dikarenakan terkait kebutuhan pokok masyarakat Entikong. Harga barang dari Malaysia jauh lebih murah dibandingkan dengan barang yang dikirim dari Sanggau atau Pontianak. Pemerintah berupaya membatasi barang yang masuk ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah menerbitkan Kartu Lintas Batas (KLB) yang bertujuan membatasi barang masuk, namun dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi masyarakat di Entikong. Namun, pembatasan tersebut juga banyak dimanfaatkan oleh para cukong dengan menggunakan KLB masyarakat untuk menjual barang-barang di Entikong.

Kemudian kami mengunjungi dua debitur KUR di Entikong yang berwirausaha rumah makan dan toko pakaian. Kedua debitur tersebut merasa program KUR sangat memberikan kemudahan bagi usaha mereka. Begitu pula saat kami mengunjungi Sanggau, ibukota Kabupaten Sanggau, yang berjarak 135 km. Di sanggau pun kami menemui debitur KUR yang berwirausaha perkebunan cabai, peternakan sapi, dan budidaya walet. Mereka pun sependapat bahwa KUR memberikan kemudahan bagi usaha mereka. Kami pun mengunjungi sebuah desa di Sanggau untuk mengetahui penggunaan dana desa. Sekretaris Desa Sei Mawang menyampaikan bahwa penggunaan dana desa mayoritas digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa, pelaksanaan kegiatan pembangunan SDM, dan menggaji aparatur desa. Hal yang kurang adalah mengenai pencatatannya karena sumber daya aparatur desa sangat terbatas.

Pada hari ketiga kami kembali ke Pontianak dan mengunjungi debitur KUR pengusaha kopi. Sama seperti debitur sebelumnya, KUR memberikan kemudahan dalam membeli alat produksi. Pada kesempatan itu pula kami menikmati secangkir kopi hasil olahan sendiri kedai kopi tersebut.

Perjalanan kali ini memang terasa berbeda karena Kawasan Perbatasan Entikong jauh lebih maju dibandingkan perbatasan lainnya yang pernah saya kunjungi. Mambangun gerbang perbatasan yang megah memang terasa mubadzir jika hanya menimbulkan ketimpagan antara gerbang dengan kawasan di sekitarnya. Namun positifnya, PLBN menjadi pemacu perekonomian di sekitar wilayah perbatasan.

Rabu, 01 Januari 2020

Anti Uang Tip



Percaya tidak jika pemberian uang tip pada penjual barang dan jasa merupakan salah satu bibit korupsi? 

Setiap orang memang dibebaskan untuk memberi uang tip atas barang atau jasa yang dibeli. Pemberian uang tip dilakukan jika kita merasa puas atas barang atau jasa yang kita beli, bisa juga disebut dengan consumer surplus, yaitu harga yang bersedia konsumen bayarkan melebihi harga keseimbangan.

Penjual biasanya menyediakan wadah khusus untuk menyimpang uang tip di meja kasir. Jadi, pembeli dapat menaruh uang tip dengan besaran tertentu ke dalamnya.

Tapi sadar ga sih, kalau memberi uang tip merupakan bentuk gratifikasi. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12B, definisi gratifikasi adalah sebagai berikut:
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pemberian memang tidak diharamkan, namun pemberian dengan kepentingan tertentu dan mengharapkan sesuatu itu yang dilarang. Hubungannya dengan uang tip adalah seperti contoh kasus berikut ini.

Saya makan di warung nasi goreng yang baru buka. Nasi goreng itu enak sekali. Karena saking enaknya, dalam seminggu pertama warung itu baru buka, saya bisa 4 kali membeli nasi goreng tersebut. Di pembelian kelima, saya melihat pelanggan lain memberikan uang tip saat membayar. Saya pun turut memberikan uang tip dari kembalian nasi goreng. Begitu pula di pembelian ke 6 dan ke 7. Pada saat pembelian ke 8 saya tidak memberikan uang tip lagi karena uang yang saya bawa pas. Begitu pula di pembelian ke 9 dan 10. Pada saat pembelian ke 11, rasa nasi goreng terasa lebih hambar dan ketika akan membayar pun si penjual jadi lebih jutek. Ketika saya menawarkan uang kembaliannya untuk uang tip, si penjual langsung tersenyum dan menjanjikan akan bikin nasi goreng yang paling enak buat saya.

Mengapa hal ini dapat dikatakan gratifikasi? Karena penjual nasi goreng yang sudah mempunyai standar penjualan, mempermainkan standar penjualan dengan indikator uang tip. Penjual akan memberikan pelayanan di bawah standar bila tidak diberi uang tip. Begitu sebaliknya, bila diberi uang tip, penjual akan memberikan pelayanan sesuai standar atau lebih. Permainan tersebut bukan hanya sekedar pelayanan, tapi bisa kuantitas maupun kualitas rasa. Penjual memiliki tujuan tertentu, yaitu memperoleh uang tip agar keuntungannya lebih besar.

Gratifikasi sendiri termasuk dalam korupsi karena dapat mengambil hak orang lain dengan tujuan memperoleh manfaat tertentu.

Atas dasar tersebut, saya adalah anti uang tip.

Terserah mau dikata pelit atau apapun. Karena memberikan uang tip dapat membuat orang lain jadi korupsi.

Jadi masih mau kasih uang tip?

Saling Menghargai Pengguna Jalan Meminimalisir Kecelakaan


Ditabraknya pesepeda dari arah belakang di Jalan Jendral Sudirman Sabtu lalu membuat saya sangat miris. Di luar konteks pelaku penabrakan mengkonsumsi narkotika, sebenarnya ada potensi meminimalisir kecelakaan jika para pengguna tertib dalam menggunakan jalan.

Saya cukup tahu beberapa Non-Government Organization (NGO) berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang humanis. Saran NGO tersebut terbukti dilaksanakan pada masa pemerintahan Anis Baswedan dengan banyaknya perombakan besar di ibukota yang menjadi sorotan. Perubahan tersebut dapat kita lihat seperti pelebaran jalur pedestrian, pembuatan jalur sepeda, penambahan penanda difabel, penggunaan Pelican Crossing dan masih banyak lagi. Perombakan tersebut memang masih jadi pro kontra di masyarakat, terutama terkait bertambahnya kemacetan karena penyempitan jalur kendaraan bermotor untuk memperlebar trotoar dan jalur sepeda.

Jalan Sudirman - Thamrin merupakan jalan protokol yang merupakan area perkantoran dan pusat bisnis. Di sepanjang jalan ini pada umumnya jalur sepeda dibuat menyatu dengan trotoar, hanya beberapa bagian saja dibuat menyatu dengan jalur kendaraan dengan penambahan warna hijau di sisi paling kiri jalan. Melihat contoh di negara maju, jalur sepeda menyatu dengan trotoar itu sering ditemui. Hanya saja ada pemisah antara jalur pedestrian, jalur sepeda, dan jalur kendaraan bermotor. Di Jakarta tidak ada pemisahan tersebut. Sangat sering terjadi, pejalan kaki yang berdiri atau berjalan di sepanjang jalur sepeda dan menghalangi pesepeda yang melintas.

Kembali ke kasus kecelakaan, berdasarkan berita dan tanda yang dibuat polisi di Tempat Kejadian Perkara (TKP), kecelakaan terjadi di tengah jalan kendaraan bermotor. Hal ini mengindikasi bahwa pesepeda menggunakan jalur kendaraan bermotor di lajur tengah atau jalur kanan. Apesnya, mereka ditabrak dari belakang oleh mobil. Mobil jelas salah karena tidak berhati-hati, namun apakah dengan begitu pesepeda sudah benar dalam menggunakan fasilitas jalan?

Berdasarkan hasil diskusi dengan netizen pesepeda di instagram, pesepeda sport seperti korban yang tertabrak, merasa tidak difasilitasi oleh pemerintah. Sepeda mereka tidak cocok menggunakan jalur sepeda di trotoar sehingga terpaksa menggunakan jalur aspal. Netizen tersebut membela diri, jika dia bergorombol di jalan raya pasti minta pengawalan. Namun, tidak semua pesepeda berpikiran seperti netizen tersebut, contohnya yang tertabrak. 

Apakah permintaan pesepeda sport untuk difasilitasi itu benar? Jawaban ini tergantung dari Pemda DKI Jakarta sebagai otoritas penyedia pelayanan umum di wilayah DKI Jakarta. Seyogyanya, kita perlu memahami bahwa jalur sepeda yang ada di sepanjang Jalan Sudirman - Thamrin adalah untuk memfasilitasi pesepeda yang bike to work. Otomatis itu sangat tidak cocok bagi pesepeda sport. Bukan berarti ketidakcocokan tersebut membuat seenaknya pesepeda sport menggunakan jalur kendaraan bermotor. Para pesepeda sport bisa menggunakan kawasan GBK yang tidak ramai kendaraan bermotor, menyewa area khusus (saya yakin mereka mampu karena harga sepedanya saja mahal sekali), bersepeda saat car free day, atau melakukan pengawalan khusus. Tekanlah arogansi dan egoisme itu demi kenyamanan bersama dan meminimalisir potensi kecelakaan.




Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku tentang Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepatn...