Sabtu, 08 Februari 2020

Belajar Bahasa Inggris: Kuliah atau Belajar Sendiri?


Berbeda dengan orang lain, saya memang agak kesulitan dalam mempelajari bahasa, terkhusus Bahasa Inggris. Saya mempelajari Bahasa Inggris dari kelas 1 SD, sempat suka dan menikmati belajar, namun di tengah perjalanan ada satu hal yang membuat 'tidak suka' dan terpatri hingga saat ini. Kalau diceritakan ya, bisa satu episode sendiri. Setelah mengambil S2 dan bekerja, saya sudah menyadari pentingnya Bahasa Inggris, namun hingga saat ini sulit mencari waktu untuk belajar untuk memperlancar.

Upaya les academic writing sudah dilakukan, saya lulus, tapi seperti ada yang kurang. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kuliah S1 Sastra Inggris. Rencana saya ini tentu sangat didukung oleh orang tua saya. Pada dasarnya, setelah saya bekerja dan menghasilkan uang sendiri, orang tua membebaskan apapun pilihan saya. Cukup bertolak belakang dengan dukungan orang tua saya, teman-teman di sekitar saya malah kurang support dengan keputusan saya ini. Hal ini sangat wajar karena orang-orang di sekitar saya ini pada dasarnya orang pintar dan cerdas yang mampu menguasai apapun dengan cepat.

Setelah mencari kampus, saya putuskan untuk memilih UT dengan program studi Sastra Inggris Bidang Penerjemahan. Alasan saya memilih UT adalah sebagai berikut:
  1. Hanya di bawah 2 juta per semester. Biaya tersebut jauh lebih kecil dibandingkan saya les di salah satu lembaga kursus.
  2. Saya suka belajar santai. Lama studi empat tahun membuat saya bisa memahami secara perlahan tapi pasti.
  3. Tanpa tatap muka adalah hal yang dicari oleh para pekerja yang punya waktu untu pergi ke kampus.
  4. Menjadi mahasiswa merupakan kunci akses ke jurnal-jurnal ilmiah yang bisa digunakan sebagai referensi apapun.
Setelah mencari informasi mulai dari proses pendaftaran hingga proses pembelajaran. Saya mantap untuk mendaftar UT. Saya daftar online di Desember 2019. Ternyata eh ternyata, tidak semudah yang dibayangkan. Setelah daftar online, tidak langsung jadi mahasiswa, ternyata saya harus menyerahkan berkas asli yang saya unggah di pendaftaran online. Pekan pertama Januari 2020 saya menyerahkan berkas-berkas tersebut ke UPBJJ yang saya pilih, yaitu UPBJJ Jakarta di Rawamangun. Setelah menyerahkan berkas-berkas tersebut saya disuruh datang lagi sekitar 7 hari kemudian untuk verifikasi berkas. One step closer menjadi mahasiswa lagi.

Pekerjaan yang cukup pada dan ditugaskan ke luar kota selama beberapa hari membuat saya belum melaksanakan verifikasi berkas. Baru 2 minggu kemudian, saya menyempatkan waktu untuk datang ke UPBJJ Jakarta. Sesampainya di sana, lobby sangat penuh dengan orang-orang. Saya tanya salah satu petugas loketnya, saya pun disuruh untuk mengambil nomor antrean. Karena tidak ada petugas yang berjaga di nomor antrean, saya mengambil semua nomor antrean yang ada. Setelah ada petugas, saya mengembalikan nomor antrean yang salah. Wow, saya harus menunggu 100 orang lagi.

Setelah diperhatikan, ternyata pergerakan nomor antrean itu sangat lama, sekitar 10 menit per nomor antrean. Saya sempatkan untuk menelpon ibu, tentang pendaftaran ini. Saya sempat bilang bahwa saya tidak jadi daftar karena antrenya lama, namun karena ibu sangat mendukung akhirnya saya tetap menunggu. Setelah menunggu sekitar 1 jam, loket tutup untuk istirahat. Petugas pun menyatakan bahwa lembar untuk verifikasi dikumpulkan saja, nanti akan dipanggil. Loket buka lagi 1 jam kemudian. Saya memutuskan untuk kembali ke kantor untuk makan siang dan mengerjakan pekerjaan. Saya putuskan kembali lagi sekitar jam 2 siang. 

Karena kondisi jalan yang cukup macet, saya baru sampai UPBJJ Jakarta sekitar pukul setengah 3 siang. Nomor antrean saya belum terlewat, masih menunggu sekitar 20 orang lagi. Setelah menunggu satu jam, nama saya tak kunjung dipanggil. Saat nomor antrean saya dipanggil, ternyata nama saya sudah dipanggil dari tadi siang. Tapi sayangnya, berkas saya hilang. Petugas di lantai 1 menyuruh saya untuk ke lantai 3. Sesampainya di lantai 3, berkas saya juga tidak ada. Petugas lantai 3 menyuruh saya kembali ke lantai 1. Petugas lantai 3 memarahi petugas lantai 1 karena langsung menyuruh saya ke lantai 3. Sekitar 30 menit berkas tak kunjung ketemu. Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Alhasil saya memutuskan untuk kembali ke kantor dan tak jadi mendaftar kuliah.

Pada saat itu, saya tidak tahu kalau hari itu adalah hari terakhir pendaftaran kuliah. Calon mahasiswa membludak, pelayanan loket untuk calon mahasiswa baru hanya dibuka dua oranng. Verifikasi berkaspun sangat manual, ditumpuk-tumpuk di meja belakang. Hal itu pun terbukti dengan hilangnya berkas saya dan saling menyalahkan antar petugas lantai 1 dengan 3. Orang-orang yang mengantre bersama saya pun banyak yang mengeluhkan pelayanan. Namun, mereka tetap sabar dengan menunggu berjam-jam. 

Setelah kejadian ini, saya cukup kapok mendaftar kuliah dengan sistem seperti ini. Berkaca pada pendaftaran mahasiswa saat S1 dan S2 dulu, meskipun banyak orang tapi masih terkendali dan tidak membuat menunggu berjam-jam. Niatan untuk kuliah masih ada, hanya sulit mencari kampus dengan sistem tersebut, kebanyakan masih sistem tatap muka. Ide lainnya adalah belajar sendiri, membeli modul di toko buku, dan menyisihkan waktu untuk belajar. Saya mencoba sistem belajar mandiri ini mulai hari ini. Semoga saya bisa rutin dan lancar dalam berbahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...