Rabu, 13 Mei 2020

Curhatan Rumah Sewa dan Hasrat Ingin Membeli Rumah

Tahun lalu saya sudah pernah membahas mengenai rumah, yaitu Pilah Pilih Hunian di Jabodetabek. Informasi tersebut saya berikan, khususnya untuk pertimbangan bagi diri saya sendiri dalam memilih hunian yang tepat. Pada saat itu, hasrat untuk memiliki hunian tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan penghasilan saya masih belum cukup untuk dapat melakukan kredit rumah. Di samping itu, uang yang dapat saya tabung pun masih terlalu sedikit bila harus menambah beban dengan kredit rumah. Saat itu, saya merasa menyewa sebuah kamar kos atau rumah jauh lebih memberikan keuntungan bagi saya karena persentase saving jauh lebih besar. Ditambah lagi, belum ada kepastian yang jelas mengenai pindahnya ibu kota negara sehingga saya berpikir lebih baik memiliki rumah di lokasi ibu kota negara baru saja nanti.

Di tahun ini, mendadak rasa ingin memiliki sebuah rumah sendiri muncul kembali. Hal ini dipacu oleh keadaan yang tidak menentu. For your information, pada akhir November 2019 saya dan teman satu kos memutuskan untuk menyewa sebuah rumah seharga Rp24 juta per tahun dengan tambahan biaya Rp350 ribu per bulannya untuk listrik dan internet. Kami tidak merasa keberatan dengan biaya tersebut. Meskipun biaya perbulannya menjadi lebih besar dibandingkan dengan sewa kamar kos sebelumnya, tetapi kami memperoleh rumah dengan ruang tamu, 2 kamar, dapur, dan kamar mandi. Rumah tersebut bukan pure rumah tapak sendiri, tetapi rumah 2 lantai yang mana lantai 1 diisi oleh pemilik dan lantai 2 disewakan kepada kami sehingga meteran listriknya masih bergabung.

Rumah sewa ini memang tidak jauh dari tempat saya bekerja sehingga biaya transportasi menuju tempat kerja sangat minim. Namun, perlu modal untuk mengisi keperluan rumah ini, seperti kasur dan kipas angin. Ya, karena rumah ini kosongan dan tanpa AC. Hal ini tentu bukan masalah besar karena bisa dibilang kami hanya numpang tidur saja, jadi tidak begitu memerlukan AC. Walau memang harus penyesuaian kembali karena sebelumnya kamar kos yang kami sewa ada AC-nya. Kami pun tidak masalah dengan biaya listrik yang ditetapkan oleh pemilik rumah kontrakan walaupun kami berpikir itu terlalu tinggi. Pasalnya, kami hanya menggunakan dua kipas angin, itupun hanya dipakai saat kami berada di rumah saja. Tidak ada transparansi biaya listrik dari pemilik kontrakan. Agar tidak merasa rugi, saya membeli kulkas portabel dan air cooler.

Saat COVID-19 terjadi dan mengharuskan untuk work from home, ini membuat pola kehidupan di rumah menjadi berubah. Selama 24 jam kami berada di rumah, ditambah lagi teman saya membawa PC kantornya. Saya yakin listrik memang akan naik. Hal itu dibenarkan oleh pemilik kontrakan. Pemilik kontrakan meminta tambahan biaya listrik sebesar Rp150 ribu. Saya cukup kaget dengan kenaikan tersebut. Sepertinya sangat tidak masuk akal. Saya bandingkan dengan penggunaan listrik di rumah orang tua saya yang memiliki tv dan dua kulkas non-stop pun biaya listriknya hanya Rp300 ribuan. Hal yang membuat saya kecewa adalah ibu kontrakan meminta tambahan biaya tersebut sampai akhir tahun. Saya tentu menolak dan hanya ingin membayar selama WFH saja. raut wajah pemilik kontrakan pun terlihat kecewa. Pada saat itu, pemilik kontrakan memang sedang mengalami kesulitan keuangan. Bahkan dia bertanya terus apakah kami akan melanjutkan mengontrak tahun depan atau tidak. Apabila iya, jika kami punya sedikit rejeki bisa diberikan terlebih dahulu uangnya dan nanti dipotong untuk biaya sewa tahun depan.

Berdasarkan kisah tersebut, ini membuat hasrat untuk membeli rumah muncul kembali. Saya pun mulai mencari-cari rumah yang yang affordable dengan kemampuan finansial saya. Begitu pun teman saya, kejadian ini membuatnya ogah untuk melanjutkan sewa rumah. Apabila tidak dapat rumah pun, sudah pasti tahun depan akan pindah. Saat ini, saya prefer dengan rumah tapak. Walaupun lokasinya jauh sekali tapi biaya bulanannya lebih ringan dibandingkan apartemen atau rumah susun. Seperti yang kita ketahui bahwa apartemen atau rumah susun mengharuskan penghuninya untuk membayar biaya servis yang totalnya sekitar Rp1 jutaan. Hal ini tentu akan memberatkan kami yang penghasilannya masih di bawah Rp10 juta per bulan.

Setelah hunting beberapa perumahan yang ada di sebelah barat daya Jakarta, di antaranya di Parung Panjang dengan harga Rp300 jutaan dan Maja dengan harga Rp200 jutaan. Saat itu saya memilih daerah Parung Panjang karena lebih dekat dengan Jakarta. Setelah memperoleh price list, saya cukup optimis untuk dapat mengajukan KPR dengan tenor 20 tahun dan bisa pindah tahun depan. Namun setelah saya hitung-hitung lagi, saya agak ragu mampu menjalani kehidupan dengan adanya pengeluaran KPR tersebut. Pasalnya, biaya transportasi cukup tinggi, ditambah biaya makan, listrik, air, dan furnitur untuk mengisi rumah, ini membuat saving menjadi sangat minim. Biaya gaya hidup saya tergolong rendah bahkan bisa diminimalisir lagi, tapi dengan segala keterbatasan ini membuat hidup lebih terkekang. Uang cadangan untuk keperluan mendesak pun lebih sedikit, ditambah lagi tahun ini pendapatan pun di-press. Hal inilah yang menjadi kegalauan saya.

Saya pun memutuskan untuk menunda membeli rumah. Mungkin tahun depan kembali menyewa kamar kos atau mencari rumah kontrakan yang lebih murah. Memang salah menunda untuk membeli rumah tetapi memang perlu disesuaikan juga dengan isi dompet. Jika dipaksakan, bakal repot juga. Untuk itu, sebelum memutuskan untuk membeli sebuah unit hunian memang perlu diperhitungkan lagi biaya yang akan kita keluarkan nanti. Jangan sampai tidak ada saving sama sekali. Mulailah belajar memanaj keuangan dan mengontrol pengeluaran. Banyak akun-akun sosial media yang memberikan pelajaran gratis tentang hal tersebut. Dengan adanya kejadian COVID-19 ini, tentu kita jadi paham betapa pentingnya mengatur keuangan. Secara umum, saya dan teman saya tidak terlalu terdampak dari sisi penghasilan, bahkan kami jauh lebih hemat karena tidak ada pengeluaran transportasi, terbiasa masak sendiri, dan biaya sewa rumah sudah dibayar diawal. Namun, kami pun tetap menyiapkan biaya darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...