Jumat, 14 Agustus 2020

Mama Muda Dalam Birokrat

 

Penting dipahami bahwa saya tidak pernah membedakan gender dalam urusan pekerjaan. Setiap orang punya kesempatan untuk maju dan menjadi pemimpin. Begitu pula menjadi seorang pemalas. Tidak ada istilah yang cocok jadi pemimpin adalah laki-laki dan yang teliti adalah perempuan. Tidak ada istilah bahwa laki-laki jauh lebih malas dibanding perempuan. Tidak ada batasan gender dalam sifat manusia. Tulisan ini merupakan sebuah celotehan saya dengan tujuan untuk lebih memahami peranan wanita dalam dunia pekerjaan, khususnya di lingkungan birokrat. Saran dan kritik sangat terbuka untuk tulisan ini.

 

Apakah kalian pernah membaca buku Jurnal Ph.D. Mama karya Kanti Pertiwi, dkk? Dalam buku tersebut bercerita tentang berbagai kisah inspiratif yang datang dari para mama muda yang berjuang untuk sekolah di tengah keterbatasan waktu karena harus mengurus keluarga. Meskipun kisah-kisah tersebut merupakan perjuangan para mama, tapi saya yang seorang laki-laki pun merasakan dampak positif dari berbagai cerita perjuangan para mama muda tersebut. Saya sebut mama muda karena jiwa mereka masih sangat muda dan memiliki cita-cita yang luar biasa, namun mereka juga punya tanggung jawab sebagai ibu dalam keluarga. Apalagi jika anaknya masih kecil, cara berbagi waktu menjadi kemampuan terhebat bagaimana membagi antara menggapai cita-cita dan mengurus keluarga karena keduanya sama-sama penting.

 

Menjadi pegawai di lingkungan birokrat adalah keinginan bagi kebanyakan orang. Tak perlu disebutkan 'keenakan-keenakan negatif' yang banyak disukai orang-orang dan mungkin itu adalah alasan mengapa menjadi pegawai birokrasi banyak diinginkan. Dalam lima tahun terakhir ini, saya merasa rekruitmen pegawai pemerintah mulai membaik. Tesnya yang semakin sulit, akses 'orang dalam' pun cenderung nol. Seharusnya kualitas pegawai pemerintahan saat ini dapat diberi grade A karena berasal dari orang-orang terpilih, lulusan terbaik, bahkan dari kampus terbaik. Batas usia yang dibatasi dalam pendaftaran pun seharusnya akan menghasilkan pegawai birokrasi muda, fresh, dan memiliki semangat pemuda harapan bangsa yang ingin memajukan negeri.

 

Sewajarnya, setelah diterima sebagai pegawai birokrat tidak mengubah cara kerja, pun ketika memutuskan untuk berkeluarga. Menjadi seorang pegawai birokrasi bukan berarti suatu privilage bisa mengurus keluarga jauh lebih baik dibandingkan sebagai karyawan. Seharusnya baik pegawai birokrasi maupun karyawan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap tempat kerjanya. Bukan berarti harus mementingkan tempat kerja, tapi seyogyanya menyeimbangkan antara kehidupan pekerjaan dan keluarga karena kita bekerja untuk keluarga bukan? Sebagai pegawai pun kita diberikan hak yang cukup dengan diberikannya hari libur di akhir pekan dan cuti, termasuk cuti melahirkan bagi para ibu. Saya melihat bahwa cuti khusus bagi wanita bukan merupakan kompensasi tapi itu adalah hak asasi manusia. Jadi memang wajar.

 

Cukup dilematis juga bagi para mama muda yang memiliki bayi saat cuti melahirkannya sudah habis. Bagaimana membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus anak. Melihat cerita-cerita dalam buku Jurnal Ph.D Mama, saya melihat bahwa para mama muda bisa melakukannya, bagaimana membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus bayi yang memang tidak dapat jauh dari ibunya. Tidak hanya itu, saya pun melihat pengalaman dari beberapa rekan kerja yang mampu membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, terkhusus saat anak-anaknya masih kecil.

 

Namun, memang ada saja yang memanfaatkan menjadi pegawai birokrasi sebagai cara untuk dapat menafaatkan waktu bersama keluarga. Ketika dia bersumpah menjadi pegawai birokrasi sepenuhnya dia mengabdi pada negeri, memang tidak dapat diartikan 100% waktu untuk negara tetapi setidaknya dapat membagi secara adil waktu untuk bekerja dan waktu untuk keluarga. Banyak kasus terjadi terkhusus bagi para mama yang memanfaatkan waktu untuk keluarga di jam kantor. Memang mengurus keluarga itu adalah hal yang baik dan positif, namun ingatkah ketika menerima pekerjaan tersebut ada kontrak yang terikat? Apalagi jika telah memegang suatu jabatan, namun saat dibutuhkan sangat sulit dihubungi, apakah itu termasuk dlaam moral hazard?

 

Banyak orang ingin memperoleh pekerjaan untuk memperbaiki kualitas hidup dan keluarganya. Terdapat kontrak antara pekerja dan pemberi kerja, dengan kata lain penerima kerja diberikan amanat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pemberi kerja pun akan memberikan hak-hak pada pekerja yang manusiawi. Jika pekerjaanmu ringan sehingga memiliki waktu luang di jam kantor bukan berarti dapat memanfaatkan waktu kantor untuk urusan di luar kantor termasuk keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...