Senin, 07 Juni 2021

Terbebas dari Toxic Masculinity

 


Mengutip dari halaman popmama.com, toxic masculinity merupakan stereotype yang disandangkan pada seorang laki-laki bahwa seorang laki-laki itu harus tangguh, anti terhadap feminim, dan berkuasa. Tangguh artinya bahwa seorang laki-laki harus kuat secara fisik dan mental, serta tidak boleh menunjukan emosi cengeng. Anti terhadap feminim artinya bahwa seorang laki-laki tidak boleh menunjukan sisi feminim seperti manja dan menangis. Berkuasa artinya bahwa seorang laki-laki harus mempunyai kekuasaan dan terpandang.

Stereotype tersebut juga mengakar di kebudayaan Indonesia. Bagi anak laki-laki tentunya pernah mendengar nasihat orang tua bahwa kita tidak boleh cengeng, harus kuat, dan harus bisa melakukan berbagai aktivitas yang umumnya dilakukan oleh lelaki. Tentunya hal ini menjadi tekanan tersendiri dan menjadi racun bagi perkembangan pribadi seorang anak laki-laki.

Hal ini juga tentu saya rasakan sendiri saat masih anak-anak. Berada dalam lingkungan yang mengharuskan seorang anak laki-laki pandai berolahraga sedangkan fisik saya pada saat itu lebih kecil dibandingkan teman-teman sebaya, membuat saya terlihat lebih lemah. Di saat anak-anak yang lain bisa melakukan passing saat bermain voli dan shooting saat bermain basket, saya tidak bisa melakukan kedua hal tersebut. Alhasil, bukannya dibantu untuk belajar atau diberikan semangat, hanya cemooh yang saya dapat. Pastinya, saya disetarakan seperti anak perempuan yang dalam budaya kita dianggap lemah.

Perlu dipahami kembali bahwa laki-laki maupun perempuan adalah manusia. Hal yang membedakan adalah alat kelamin yang fungsinya saling melengkapi untuk berkembang biak. Memang secara bentuk fisik dan sifat ada ciri-ciri yang membedakan. Namun, keduanya tetap manusia yang berhak menjadi apapun sesuai dengan cita-citanya, meluapkan perasaan dengan cara menangis, dan bahagia dengan cara yang disukai. Tidak ada aturan bahwa laki-laki harus seperti ini dan perempuan harus seperti itu. Keduanya sama saja, punya hak dan kewajiban.

Jujur, saya tidak pernah memasang regulator yang menghubungkan tabung gas LPG ke kompor. Selama saya hidup bersama kedua orang tua, ibu saya tidak pernah mengajarkan cara memasang regulator. Ketika saya hidup sendiri, saya bercerita pada ibu saya melalui telepon. Sangat disayangkan ketika ibu mengatakan, "masa laki-laki enggak bisa masang gas?". Pelan-pelan saya nasihati ibu untuk tidak lagi mengatakan hal tersebut. Saya mengatakan bahwa ibu tidak pernah mengajari saya untuk memasang regulator sehingga sangat wajar jika saya takut terjadi apa-apa bila mengalami kesalahan dalam memasang regulator. Kemudian saya mengatakan pula bahwa tidak semua laki-laki itu adalah tukang gas, jadi tidak ada kewajiban manusia berjenis kelamin laki-laki harus bisa memasang regulator gas. Tidak hanya itu, saya pun menambahkan bahwa ibu berhak mengatakan hal tersebut jika ibu pernah mengajarkan saya bagaimana memasang regulator gas dan antisipasi jika terjadi permasalahan. Ibu pun diam beberapa saat, hingga akhirnya meyakinkan saya untuk belajar dan tidak perlu takut untuk memasang regulator gas karena cukup mudah untuk dilakukan.

Hal yang paling tidak dapat saya tahan adalah menangis. Saya menangis jika sedang mengalami kelelahan dan kekesalan karena aktivitas tertentu yang saya lakukan sendiri. Di tempat saya bekerja, saya punya rekan kerja paling mengerti dan koperatif. Beliau adalah seorang wanita yang usianya di atas saya. Saya sudah berkali-kali bercerita sambil berlinang air mata. Beliau paham bahwa saya sedang berada di puncak kelelahan dan kekesalan atas suatu pekerjaan. Sesekali saya mengucapkan maaf karena bercerita sampai menangis. Namun, beliau mengatakan bahwa setiap manusia berhak menangis untuk meluapkan emosi dan itu sangat lumrah. Setelah menangis maka akan terasa jauh lebih lega.

Tentunya, toxic masculinity ini bisa dipatahkan asal kita berani. Di usia dewasa ini, saya jauh lebih berani karena saya lebih didengar dan saya dapat menentukan apa yang ingin saya lakukan. Dengan kata lain, toxic masculinity dapat dipatahkan asalkan kita berani untuk mematahkannya.



Minggu, 06 Juni 2021

Mengalami Gangguan Telinga, Segera Ke Dokter THT



Rasa gatal pada rongga telinga tentunya sangat mengganggu aktivitas. Apalagi jika memiliki karakter telinga yang mudah gatal dan mudah kotor, mengorek adalah hasrat yang sangat sulit dihindari. Mulai dari sekarang saya harap hentikan perilaku mengorek rongga telinga terlalu sering, apalagi jika terlalu dalam. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Ini adalah pengalaman saya ketika mengalami rasa gatal di rongga telinga kiri. Secara refleks, menggaruk menggunakan kuku kelingking yang kebetulan panjang. Karena sadar bahwa kuku adalah bagian tubuh yang kotor, saya pun meneteskan obat tetes telinga yang dijual di pasaran sebagai antiseptik sekaligus pengencer kotoran telinga yang kering. Namun kali ini hal yang tidak diinginkan terjadi, keesokan harinya setelah bangun tidur, rongga telinga saya terasa bengkak dan sakit. Rasa sakit semakin hebat bila tersentuh secara fisik, contohnya ketika memakai helm, saat helm menekan daun telinga. Rasa sakit di telinga juga memengaruhi mood sehingga saya jauh lebih emosian pada saat itu.

Langkah cepat yang saya ambil adalah konsultasi dengan dokter secara online dengan menggunakan aplikasi Alodokter. Diagnosa dokter adalah kemungkinan saya mengalami radang telinga tengah (otitis media) atau radang telinga luar (otitis eksterna). Saya pun diberi resep obat yang terdiri dari obat tetes telinga, obat penahan rasa sakit, dan antibiotik yang dikonsumsi sehari sekali selama 10 hari. Saya pun harus menghentikan penggunaan obat tetes telinga yang dijual di pasaran.

Setelah mengkonsumsi obat selama 10 hari, rasa sakit sudah hilang. Namun digantikan rasa gatal yang luar biasa di bagian dalam. Tentu saja, pada bagian tersebut tidak dapat dikorek. Namun karena obat tetes telinga yang diresepkan dokter habis karena tumpah, akhirnya saya meneteskan obat tetes yang dijual di pasaran kembali. Malangnya, obat tetes tersebut yang seharusnya keluar kembali dari telinga, ini malah menyumbat rongga telinga dan membuat pendengaran berkurang. Hal ini membuat saya hanya mengandalkan telinga kanan untuk mendengar.

Saya merasa hal ini sudah sangat parah. Saya harus pergi langsung ke dokter THT untuk ditindak. Melalui aplikasi Alodokter, saya membuat janji dengan dokter THT di Rumah Sakit Gandaria Jakarta Selatan. Meskipun jauh dari tempat tinggal dan tempat kerja, saya memilih jadwal yang sesuai setelah saya pulang kerja.

Ketika diperiksa oleh dokter THT, ternyata ada cairan yang menyumbat telinga saya. Dokter pun tahu jika telinga saya sering dikorek. Cairan yang menyumbat tersebut disedot untuk dibersihkan. Dokter juga menyatakan bahwa ada sedikit jamur dan tidak boleh dikorek-korek lagi. Setelah dilakukan tindakan saya diresepkan obat untuk dikonsumsi sampai habis, yaitu obat tetes telinga berbahan asam cuka 2%, antibiotik, dan anti-alergi.

Saat ini, saya sudah tidak berani mengorek telinga setiap hari. Apabila gatal sebaiknya ditahan saja. Penggunaan cotton buds pun hanya di bagian terluar telinga, itu pun tidak boleh sering. Penggunaan obat tetes telinga yang dijual di pasaran pun sudah saya hentikan untuk telinga kanan yang baik-baik saja. Hal ini mungkin karena teksturnya yang kental membuatnya mudah terjebak di dalam rongga telinga, khususnya terjadi pada telingga yang sedang sakit.

Mengingat telinga merupakan organ vital bagi tubuh manusia, jika terjadi gangguan sebaiknya konsultasikan dengan dokter yang paham. Perkembangan teknologi membuat kemudahan untuk berkonsultasi dengan dokter. Maka dari itu, manfaatkan teknologi untuk berkonsultasi dengan ahlinya.

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku tentang Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepatn...