Jogja itu adalah rumahku. Rumah keduaku. Satu kota untuk healing terbaik dari berbagai kepenatan yang sudah kualami selama ini. Setelah tugas-tugasku selesai dan menemukan waktu yang terbaik untuk mengambil cuti. Akhirnya aku putuskan untuk mengambil cuti dan lari dari hiruk pikuk ibu kota yang beberapa bulan ini cukup mengecewakan terutama terkait perasaan 😂.
Aku memutuskan berangkat dari Jakarta pada Sabtu pagi dan kembali di hari Selasa. Aku pikir empat hari adalah waktu yang cukup untuk berlibur dan cocok di dompet juga walaupun sesungguhnya berlibur di Jogja itu paling sebentar adalah satu minggu. Namun, aku masih sadar diri bahwa banyak pekerjaan yang bakal keteteran jika aku tinggalkan terlalu lama.
Of course, aku berencana berlibur dengan konsep budget dengan tujuan wisata kuliner. Tidak ada objek wisata manapun yang akan aku kunjungi karena memang tujuanku adalah makan. Mengunjungi tempat makan yang biasa aku kunjungi pada saat kuliah, ditambah kafe-kafe estetik yang saat ini sedang pamor di kota gudeg ini.
Dua minggu sebelumnya, aku telah memesan tiket kereta api Bengawan relasi Pasar Senen - Lempuyangan dengan harga Rp74.000. Kereta dengan konsep tempat duduk 3-2 dan berhadapan bukan hal yang aneh buatku, aku sudah terbiasa menggunakan kereta ekonomi agar dua minggu sekali bisa pulang ke Bandung. Tempat favoritku adalah kursi di gang untuk tiga orang yang berhadapan dengan kursi untuk dua orang, alhasil kakiku bisa selonjoran tanpa ada orang di depanku. Satu hari sebelum keberangkatan, aku tes antigen terlebih dahulu di Stasiun Pasar Senen dengan harga Rp45.000 sebagai syarat perjalanan.
Tidak hanya itu, aku pun telah memesan tiket kereta api Jayakarta relasi Lempuyangan - Pasar Senen seharga Rp180.000, sewa motor 3 hari lebih seharga Rp200.000, dan hotel 3 malam di Zest Hotel. Aku memilih menyewa motor agar lebih fleksibel ke mana-mana. Jalanan Jogja pun sudah hapal di luar kepala, maka aku tidak akan tersesat. Pilihan Zest Hotel adalah hotel budget terbaik, fasilitas yang mumpuni walau tanpa sarapan, setidaknya aku bisa istirahat dengan tenang dan menyimpan barang secara aman. Perjalanan pulang aku pilih kelas premium karena aku akan membawa barang-barang jastip (jasa titip), maka aku butuh space yang lebih dan aman.
Sesampainya di Stasiun Lempuyangan, mas-mas yang menyewakan motor sudah standby menungguku. Setelah melakukan transaksi aku langsung menunggangi beat hitam di jalanan Jogja menuju hotel. Suasana yang sungguh aku rindukan bertahun-tahun yang lalu. Ketika perkuliahan memecah pikiran dan night riding adalah kunci ketenangan. Ya walaupun sesampainya di Jogja itu masih sore sih, tapi riding-nya sama lah ya 😆.
Setelah check-in hotel, sebagai seorang yang aktif sosial media, perlu dong update location. Ter-posting-lah sebuah foto Stasiun Lempuyangan di IG story. Tak lama kemudian, teman KKN-ku, Irfan, bertanya tentang posisiku. Sebelumnya aku memang telah menghubungi Irfan kalau akan berkunjung ke Jogja dan dia bersedia menemaniku satu hari saja karena dia punya kesibukan. Irfan pun langsung menuju ke hotel tempatku menginap dan perjalanan wisata kuliner di mulai dari sore itu.
Makanan yang paling aku idamkan dan sudah lama aku tak makan adalah Loompia-Boom. Namun sayang, ketika sampai di lokasi ternyata hanya melayani take away. Akhirnya ku memilih makan di warung belakangnya, yaitu Warung Inyong yang berada di Pogung Rejo, Sinduadi, Mlati, Sleman, salah satu yang jadi favoritku juga. Warung Inyong merupakan tempat makanan favorit mahasiswa selain harganya murah, suasananya pun sungguh asri. Terdapat dua area tempat makan yang bisa dipilih, yaitu area lesehan di atas rumah panggung yang terbuat dari bambu dan area duduk biasa dengan kursi di sisi-sisi rumah panggung tersebut. Makanan yang disajikan pun seperti ayam, nila, bawal, bebek, tempe, dan tahu yang dapat digoreng atau dibakar, selain itu ada pula cah kangkung, cah jamur, terong goreng, sayur lodeh, dan sayur asem.
Setelah kenyang dengan makanan berat, it's coffee time! Perubahan Jogja setelah ditinggal beberapa tahun memang sangat kentara sekali, khususnya jumlah tempat ngopi alias tempat nongkrongnya. Mulai yang sederhana hingga yang fancy. Setelah berkeliling akhirnya memilih Bricks Cafe yang ada di Jalan Damai, Ngaglik, Sleman. Kafe ini memang sungguh mentereng dari pinggir jalan, sampai tidak sadar bahwa seberangnya persis adalah kontrakanku dulu waktu masih kuliah. Fasad dari luar sekaligus interiornya memang motif bata semua, namun ini sungguh terlihat estetik dan layak menjadi objek foto.
Setelah ngopi sambil ngobrol ngalor ngidul, perut pun kembali keroncongan. Aku teringat Nasi Goreng Notaris di depan kantor notaris kawasan Kota Baru, Yogyakarta. Sayangnya, pukul 20.30 Nasi Goreng Notaris sudah gulung tikar dan beberes. Akhirnya, kami memutuskan untuk ke Nasi Goreng Padmanaba, masih di kawasan Kota Baru namun ada di depan SMA Negeri Padmanaba alias SMA Negeri 3 Kota Yogyakarta. Dengan memesan dua nasi ukuran biasa dan dua teh manis membuat kami kekenyangan. Rasanya yang masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Rindu sekali nongkrong bareng teman-teman satu jurusan di sini.
Keesokan paginya, masih bersama Irfan, kami berniat sarapan di Gudeg Mbah Lindu di Jalan Sosrowijayan, Kota Yogyakarta. Sayangnya, kami kehabisan dan memilih gudeg yang lain di sekitaran situ. Setelah itu, kami menuju Tempo Gelato di Jalan Prawirotaman. Ini memang gelato terbaik yang pernah kucoba seumur hidup. Pastinya tidak akan pernah terlewatkan untuk mampir setiap ke Jogja.
Siangnya, Irfan harus pulang. Aku memutuskan untuk kembali ke hotel dan tidur siang. Setelah bangun tidur, akupun kelaparan. Sebenarnya aku ingin ngemil Bingke Pontianak yang suka nongkrong di Hotel Wilis, namun pas aku mampir ternyata sudah tidak ada. Akhirnya, ku memutuskan untuk makanan berat di Bungong Jeumpa di Jalan Kaliurang, perempatan Kentungan, Depok, Sleman. Cukup banyak yang aku pesan, mulai dari ayam gulai, roti canai, dan es teh manis. Setelah kenyang, aku kembali ke hotel. Tiba-tiba Dyah, teman KKN-ku yang lain menghubungi dan mengajak bertemu. Dyah minta ditemani ke Tempo Gelato dulu, aku pun mengantarkannya ke Tempo Gelato Jalan Taman Siswa karena siangnya aku sudah makan gelato, aku cuma bisa melihatnya saja. Setelah itu, kami memutuskan untuk jajan di angkringan kopi Joss yang ada di depan Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku memesan segelas kopi susu joss, dua buah nasi kucing, dan lima sate sambil mendengarkan Dyah bercerita tentang hidupnya yang sedang mengalami quarter life crisis.
Keesokan paginya, aku ngidam sekali makan di Kindai. Kindai itu adalah restoran masakan khas Banjar. Kindai ada di Jalan Jembatan Merah, Gejayan, Depok, Sleman. Aku memesan nasi kuning ayam telor dan teh hangat. Siangnya aku bertemu dengan teman baru, Pak Heri yang kebetulan sedang berlibur sendiri ke Jogja dan kebetulan lagi dia orang Bandung juga. Kami memutuskan untuk kulineran bersama. Saat makan siang, kami memutuskan untuk ke Raminten yang ada di Jalan Faridan M. Noto, Kota Baru, Kota Yogyakarta. Seperti biasa aku memesan ayam koteka, nasi, seger sumyah, dan es krim. Setelah kenyang, kami memutuskan untuk ngopi di Kebon Ndalem Coffee yang tepat berada di persimpangan Tugu Jogja. Kami memilih tempat duduk yang menghadap langsung ke arah Tugu sambil mengobrol.
Setelah capek seharian, aku memutuskan kembali ke hotel untuk istrahat. Malamnya aku dan Pak Heri menuju Oseng-oseng Mercon Bu Narti yang ada di Jalan K.H. Ahmad Dahlan, Ngampilan, Kota Yogyakarta. Sumpah dulu suka banget makan oseng-oseng mercon apalagi yang nasinya ngambil sendiri sepuasnya. Tapi aku lupa nama oseng-oseng merconnya karena pada saat itu jalur pedestrian di utara Jalan Ahmad Dahlan sedang diperbaiki jadinya beberapa oseng-oseng mercon pindah tidak tahu ke mana. Setelah kepedesan dengan oseng-oseng mercon, kami menuju Djoeragan Susu yang ada di Jalan Bantul, Kota Yogyakarta. Aku memesan STMJ dan pisang bakar.
Tidak terasa liburanku akan segera berakhir. Pagi-pagi aku memutuskan untuk makan di Lotek Pandega yang ada di Jalan Pandega Marta, Pogung Lor, Depok, Sleman. Ini juga salah satu lotek favorit yang terjangkau untuk kantong mahasiswa. Setelah itu aku langsung berbelanja titipan teman di Jakarta, yaitu Bakpia Kurnia Sari, Bapiaku, Mamahke Jogja, dan Roti Sisir Jogja. Kemudian kembali ke hotel untuk istirahat sejenak hingga waktu check out.
Setelah check-out, aku dan Pak Heri berencana makan siang di Warung Pohon Omah Sawah yang ada di Jalan Parangtritis, Bantul. Perjalanan memang cukup jauh ditambah aku harus membawa barang-barang. Tapi tak masalah karena lapar, aku tetap semangat. Aku baru pertama kali ke warung tersebut dan suasananya asri banget, memang pakai konsep garden resto gitu. Kami memesan satu paket ingkung potong. Paket tersebut sebenarnya bisa dimakan oleh 3-4 orang, tapi kami yakin bisa menghabiskannya dan terbukti tidak bersisa sama sekali.
Setelah kenyang dan menurunkan makanan ke usus, kami memutuskan kembali ke kota mencari tempat ngopi. Setelah googling, kami menemukan Kopine Eyang yang ada di Jalan Panembahan, Kraton, Kota Yogyakarta. Kami ngbrol ngalor ngidul sambil menunggu petang. Kopi susu adalah minuman favoritku di warung kopi. Setelah pukul 6 sore, kami harus berpisah karena aku harus kembali ke Jakarta menggunakan kereta dengan keberangkatan pukul 19.30. Akupun harus rapid test dulu sebelum memasuki area stasiun. Pak Heri pun pulang ke Bandung hari itu juga, namun dengan keberangkatan pukul 22.00.
Perjalanan wisata kulinerku berakhir. Walau masih banyak destinasi yang belum sempat dikunjungi, tapi aku sungguh bahagia karena penenangan diriku berhasil di rumah keduaku. Jogja adalah rumahku meskipun aku tinggal hanya empat tahun di sana tapi rasanya seperti berada di kampung halaman sendiri. Jogja, my second home.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar