Selasa, 04 Januari 2022

[4] Jurnal Mahasiwa Tata Kota - Semester 2: Benarkah Ini Passion?

<< Back - Semester 1: Homesick and Struggling 



oleh: Diva Teguh R.


"Aska kamu ke Jogja lagi kapan? Semester 2 sebentar lagi kan?", tanya mamah berteriak dari dapur.

"Iya mah minggu depan sudah mulai perkuliahan, besok atau lusa mau ke stasiun untuk beli tiket", jawabku.

Aku teringat bahwa libur semester 1 tinggal bersisa enam hari lagi. Tak terasa hampir satu bulan aku berada di rumah. Sambil melihat IP-ku yang tidak sesuai target. Untuk sebagian orang mungkin berpikir bahwa IP di atas tiga adalah prestasi yang luar biasa. Tapi buatku adalah kegagalan. Jika aku masih mengambil program studi teknik mesin, sangatlah wajar jika sulit untuk memperoleh IP di atas tiga. Aku sekarang mengambil program studi teknik yang sebenarnya mudah, tinggal menghapal, hanya saja belum ada kesinambungan dalam diri. Aku tahu itu mudah tapi aku belum bisa merasakan kemudahan itu.

Aku masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselku. Aku mengirimkan pesan singkat kepada Andi. Aku berencana ke Jogja bersama dia agar di kereta aku ada teman gobrol.

To: Andi PWK 2011

Ke Jogja kapan Ndi? Bareng lah ya biar ada temennya. Naik ekonomi aja dari Kircon. Mau Jumat malam atau Sabtu malan? Biar kita bisa istirahat dulu satu hari sebelum masuk kelas.

Sent.

Tak lama, ada SMS masuk di ponsel ku.

From: Andi PWK 2011

Aska, Jumat malam aja bagaimana? Biar bisa beberes juga, udah satu bulan kost-an enggak diberesin. Kamu mau beli kapan? Tolong beliin dulu ya, nanti aku transfer. Aku sampai hari Kamis ada di Sumedang. Ada acara keluarga.

Aku pun membalasnya kembali.

To: Andi PWK 2011

Oke Andi, aku belikan dulu ya, di gerbong tengah-tengah aja. Jangan lupa kirimin nomor KTP.

Sent.

Kemudian Andi mengirimkan SMS kembali yang berisi nomor KTP-nya. Besok pagi aku akan pergi ke stasiun untuk membeli tiket kereta.

Aku membaringkan tubuhku di kasur. Aku bertanya pada diri sendiri. Mengapa aku kuliah di program studi ini? Mengapa tidak aku teruskan saja kuliah di teknik mesin. Nilai-nilaiku di teknik mesin juga bagus, aku hanya tinggal mempertahankannya saja.

Aku mengingat-ingat masa kecilku. Apa yang aku suka. Apakah ada hubungannya dengan teknik mesin? Sepertinya tidak. Sewaktu aku kecil aku sangat suka sekali bermain mobil-mobilan. Namun karena orang tuaku tidak mampu membelikan mobil-mobilan remote control, aku lebih sering mengumpulkan miniatur mobil-mobilan hadiah dari makanan ringan. Ada mobil sedan, pick-up, mobil boks, truk, truk tonton, hingga truk gandeng. Halaman depan rumahku yang berukuran satu kali satu setengah meter ku jadikan area bermain. Aku padatkan tanah membentuk jalur kendaraan, seolah itu adalah jalanan beraspal. Aku buat rute berbentuk kotak-kotak sehingga setiap pertemuan jalan ada persimpangan. Di setiap persimpangan jalan aku taruh miniatur lampu lalu lintas hadiah dari makanan ringan yang lampu merah, kuning, dan hijaunya merupakan stiker berbentuk lingkaran yang sudah dipotong dan masuk dalam paket hadiah makanan ringan tersebut. Aku taruh miniatur kendaraan yang sudah aku kumpulkan berjejer di sepanjang jalan untuk mengukur kesesuaian lebar jalan dengan kendaraan. Tak lupa aku gali tanah memanjang dengan pola tidak beraturan melintasi beberapa jalan yang sudah aku buat. Itu adalah sungai. Untuk jembatan aku cari triplek bekas yang tidak dipakai kemudian aku taruh secara melintang sehingga mobil-mobil mini itu dapat melintasinya. Jika aku mendapatkan miniatur pohon dari makanan ringan yang aku beli, aku taruh di tempat-tempat yang cocok atau di area taman yang aku buat. Agar kota yang aku buat terlihat ada kehidupan, aku menaruh kotak korek api bekas yang sudah aku gambar menyerupai rumah atau bangunan dan diletakkan di sepanjang sisi jalan. Miniatur kota buatanku sudah jadi. Setiap hari aku melihatnya dan menjalankan mobil-mobil di sepanjang jalan dan melintasi jembatan. Sayangnya jika hari itu terjadi hujan, miniatur kota itu hancur lebur karena halaman depan rumah tidak memiliki atap.

***

Jumat malam, aku diantarkan kakakku ke Stasiun Kiaracondong. Di sana aku bertemu Andi dan kemudian masuk ke dalam gerbong yang aku pilih sebagai tempat duduk kami menuju Jogja. Kereta di tengah malam. Malam hari itu, kursi penumpang di gerbongku terisi semua, namun tidak ada penumpang yang berdiri. Sepuluh menit kereta berjalan aku terlelap, begitu juga dengan Andi. Kami yakin kereta ini dalam keadaan bebas maling karena kamipun tidak membawa barag berharga. Ransel kami peluk masing-masing, jadi jika ada pergerakan akan terasa. Lagi pula kami terlelap tidak sepenuhnya tidur pulas, masih ada kesadaran merasakan suara gesekan antara roda kereta dengan rel. Sebagai pengguna kereta jarak jauh, kami sudah biasa tertidur dengan cara seperti itu. Hal yang terpenting mendapatkan waktu istirahat walaupun tidak nyenyak.

Kami berdua terbangun di Stasiun Tasikmalaya. Terdengar suara pengumuman dari stasiun bahwa saat ini kami sedang berada di Stasiun Tasikmalaya. Aku meregangkan badan sambil berdiri.

"Ngantuk banget ya Ndi?", tanyaku.

"Iya nih. Enggak kerasa ya Senin besok sudah masuk semester dua. Kamu sudah mengisi Kartu Rencana Studi kan?", Andi bertanya.

"Sudah. Setahun ini kita sudah ditentukan kan ya mata kuliah apa saja yang diambil? Aman lah ya. Btw, bagaimana nilaimu di semester satu? Aman kan?, "tanyaku lagi.

"Alhamdulillah lumayan, kamu gimana?", Andi menjawab sambil tersenyum dan bertanya balik.

Layaknya sang senior yang pernah menjalani masa perkuliahan, aku menjawab, "Ya Alhamdulillah juga. Berapapun IP-nya yang penting masih di atas 3 ya? Kamu di atas 3 kan ya. Aku juga, nanti di semester berikutnya pasti bisa meningkatkan IP hingga di atas 3,5."

Aku berkata demikian seolah Andi mengalami hal yang sama denganku, yaitu di bawah 3,5.

"Iya benar, perjuangan masih panjang ya Aska. Semoga kita bisa lulus tepat waktu", Andi menyetujui ucapanku.

***

Aku yang sedang duduk di meja kerja selalu malu sendiri jika teringat percakapanku dengan Andi 9,5 tahun yang lalu. Pasalnya, Andi merupakan salah satu mahasiswa yang memperoleh nilai sempurna alias IP 4 di semester satu. Dan aku menasihati Andi padahal IP-ku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Bahkan saat kelulusan pun, kami lulus bersama dan Andi menjadi salah satu mahasiswa dengan IPK tertinggi di periode kelulusan tersebut. Andi memperoleh IPK 3,84 dan menyandang predikat cumlaude.

***

Memasuki hari Senin, hari pertama kuliah di semester dua. Sejujurnya kekecewaanku mengenai IP masih terpikirkan sampai saat ini. Ya begitulah, aku itu orangnya overthinking. Hal yang tidak penting pun sering terpikirkan. Aku belum berniat mengubah cara belajarku.

Pukul 8.50 aku bersama teman-temanku sudah duduk di dalam ruang kelas. Ruang kelas yang ukurannya besar sekali sama seperti aula, mampu memuat 100 orang lebih. Gedung tempat aku belajar ini terdiri merupakan gedung Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanan. Gedung ini hanya terdiri dari tiga lantai yang mengelilingi taman di bagian tengahnya. Taman di bagian tengahnya disebut innercourt yang di desain oleh salah satu dosen arsitek. Di lantai satu terdapat ruangan Studio Arsitektur, perpustakaan jurusan, perpustakaan pasca sarjana, laboratorium komputer arsitektur, dan beberapa ruangan dosen. Di lantai dua terdapat Studio Tugas Akhir Arsitektur, empat ruang kelas program sarjana yang ukurannya besar, Studio Perencanaan Wilayah dan Kota, laboratorium komputer perencanaan wilayah dan kota, beberapa ruangan dosen, dan kantor bagian akademik. Di lantai tiga terdapat beberapa ruangan dosen dan beberapa ruangan yang digunakan untuk kelas sekaligus studio untuk program pasca sarjana. Sejujurnya aku kurang paham layout lantai tiga karena jarang sekali ke sana. Sekalinya ke sana adalah untuk bertemu dosen karena dosen-dosen muda umumnya berkumpul di lantai tiga.

Semangat belajarku di semester dua ini sebenarnya agak kendor. Aku selalu duduk di barisan agak belakang. Berkumpul dengan teman-temanku yang agak pemalas juga. Sambil menunggu dosen, seperti mahasiswa pada umumnya kami ngobrol ngalor-ngidul. Sebagai mahasiswa tahun pertama yang diobrolkan masih seputar kost-an dan tempat makan. Ada yang sudah betah dengan kost-an-nya sekarang ada pula yang mulai tidak betah karena lingkungannya agak menyeramkan. Aku lebih banyak membicarakan seputar dunia kuliner harga mahasiswa di Jogja. Risetku mengenai tempat makan sungguh lebih menyenangkan dibandingkan dengan memperdalam ilmu yang aku ambil di masa kuliah. Hal ini juga membuatku dianugerahkan sebagai ketua geng makan. Setiap makan malam, anak-anak perantauan selalu memintaku untuk menentukan mau makan di mana. Untuk urusan perut tentunya ini sangat menyenangkan, hampir setiap akan makan malam, aku selalu mengirimkan SMS kepada seluruh teman-temanku yang nge-kost untuk berkumpul di kost-an Putri, teman sekelasku yang kost-an-nya paling dekat dengan kampus dan memiliki halaman parkir cukup luas. Setiap berkumpul untuk makan malam, kost-an putri selalu penuh dengan sepeda motor milik teman-teman yang siap mencari tempat makan dan makan bersama.

Pukul 8.50 seorang pria paruh baya memakai gamis, peci, berkacamata, dan berjenggot panjang memasuki ruang kelas. Beliau memperkenalkan diri.

"Selamat pagi rekan-rekan semua. Perkenalkan nama saya Rudi Iswara. Saya dari Fakultas Geografi. Selama satu semester ini, saya mengampu mata kuliah kependudukan. Kita berkenalan dulu ya, saya coba sebutkan satu per satu di daftar hadir."

Pak Rudi mulai memanggil nama kami satu per satu, kami pun mengangkat tangan dan menyebutkan asal daerah. Suatu hal yang biasa bagi kampus yang paling banyak diminati oleh mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia.

"Kependudukan atau demografi merupakan bagian terpenting dalam perencanaan. Tentu saja yang kita rencanakan bukan hanya ruang atau fisiknya saja, tetapi penduduknya juga yang merupakan penghuni dan pelaku dari ruang yang kita rencanakan", Pak Rudi memulai perkuliahan.

"Analisis kependudukan memiliki manfaat untuk mencapai dua tujuan, yaitu tujuan dasar dan tujuan praktis. Tujuan dasar untuk menggambarkan perubahan jumlah, komposisi, dan persebaran sedangkan tujuan praktis untuk membuat sektor publik yang bermanfaat untuk penduduk itu sendiri."

"Sebagai pelaku dari ruang tentunya banyaknya penduduk akan memengaruhi kondisi ruang tersebut. Penduduk pastinya akan terus bertambah. Agar kapasitas ruang tetap stabil dan tidak mengganggu kualitas hidup serta kegiatan perekonomian, maka dalam perencanaan memproyeksikan jumlah penduduk merupakan aspek terpenting dalam perencanaan. Menurut Smith dkk. tahun 2002, fungsi dari memproyeksikan penduduk adalah untuk memprediksi perubahan penduduk di masa yang akan datang, menganalisis faktor yang memengaruhi perubahan penduduk, menghadirkan skenario alternatif dalam perencanaan, mempromosikan agenda dan menyampaikan peringatan, serta memberikan dasar untuk proyeksi lainnya", tambah Pak Rudi.

"Pertambahan penduduk itu terjadi atas dua cara, yaitu kelahiran dan migrasi masuk sedangkan pengurangan penduduk terjadi karena kematian dan migrasi keluar. Pertumbuhan kelahiran penduduk di negara berkembang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan kematiannya sedangkan di negara maju jumlah kelahiran dan kematian cenderung seimbang. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi dan pola pikir masyarakat. Nah, dipertemuan pertama ini, coba rekan-rekan semua membentuk 10 kelompok. Pembagian kelompok diserahkan kepada ketua kelas. Tugasnya adalah buatlah paper  dan paparan singkat yang memberikan argumen mengapa agka kelahiran di negara berkembang jauh lebih besar dibandingkan angka kematiannya? Beri argumen juga mengapa negara maju mampu mengontrol jumlah kelahiran dan kematian penduduknya? Masing-masing beri contoh negara berkembang dan majunya apa dan kebijakan apa yang diterapkan dalam mengontrol jumlah penduduk? Dikumpulkan maksimal pada hari Sabtu malam minggu ini. Minggu depan akan saya pilih kelompok yang akan mempresentasikan tugasnya. Kelas saya tutup. Terima kasih", Pak Rudi mengucapkan salam, mencabut flashdisk dari komputer di depan kelas dan berjalan menuju pintu untuk keluar ruangan kelas.

Sebelum semuanya mahasiswa meninggalkan kelas, sang ketua kelas maju ke depan kelas dan meminta untuk pembagian kelompok. Pembagian kelompok dilakukan dengan cara berhitung satu sampai sepuluh pada setiap mahasiswa. Mahasiswa yang menyebutkan angka yang sama berarti mereka satu kelompok. Hal tersebut dilakukan mulai dari mahasiswa yang duduk di baris paling depan hingga mahasiswa yang duduk di baris paling belakang. Setelah pembagian tersebut, setiap kelompok berkumpul untuk membicarakan tugas. Setelah itu membubarkan diri, ada yang menuju perpustakaan ada pula yang menuju kantin untuk sarapan yang tertunda.

Memasuki pukul 12.50, para mahasiswa mulai ramai memasuki ruang kelas. Pukul 13.00 nanti, perkuliahan ke dua di hari ini akan segera dimulai. Mata kuliahnya adalah Rancang Kota yang diampu oleh Pak Bardi. Pak Bardi ini merupakan salah satu dosen favorit di seluruh angkatan. Meskipun tergolong dosen madya berada di rentang usia dosen senior dan dosen muda tapi beliau itu sangat berjiwa muda. Di semester satu beliau jua mengampu mata kuliah Teori Keruangan. Paparannya yang simpel dan penuh warna serta penyampaiannya yang mudah dipahami membuat para mahasiwa menyukai setiap mata kuliah yang beliau bawakan. Aku pun demikian karena setiap perkuliahan beliau selalu mempelajar ruang, bentuk, pola, dan desain yang membuat imajinasi dan kreativitas berjalan. Intinya ada unsur seni di setiap mata kuliah yang beliau ajarkan.

"Selamat datang di semester dua, bertemu lagi dengan saya. Kita masuk mata kuliah rancang kota atau biasa disebut urban design. Secara ruang lingkup, rancang kota ini berada di level meso atau tengah, atau dengan kata lain berada di antara level mikro dan makro. Pada semester sebelumya kalian sudah mengetahui bahwa level mikro itu merupakan cakupan arsitektur yang mana mendesain interior dan bangunan sedangkan level makro itu merupakan cakupan perencanaan wilayah dan kota. Lalu di level meso ini cakupannya siapa? Tentu keduanya baik arsitektur maupun perencanaan wilayah dan kota. Kalian para perencana atau planner harus mampu memahami dan mengubah rancang kota sebagai media dalam membentuk komunitas. Planner juga harus mampu memengaruhi kemampuan dalam membentuk tujuan-tujuan sosial seperti diversivitas, sensitivitas ruang, rasa ruang, dan kualitas hidup dalam kota. Itu menurut Talen tahun 2010".

Aku masih menyimak apa yang disampaikan Pak Bardi.

"Terdapat empat dimensi dalam rancang kota, yaitu visual, fungsi, aktivitas, dan tema. Keempat dimensi ini bersatu padu membentuk suatu rancangan kota. Mari kita membahas satu-persatu keempat dimensi tersebut".

Pak Bardi menekan tombol spasi di laptopnya yang terhubung ke proyektor melalui kabel HDMI.  Secara bersamaan tampilan slide presentasi begereser ke halaman berkutnya.

"Dimensi visual merupakan dimensi yang terlihat oleh indera kita sebgaai seorang perancang. Untuk itu, kita harus dapat menggunakan indera kita dalam perancangan yang dilakukan secara bertahap. Adapun tahapan yang pertama adalah sensory. Pada tahap ini, kita dapat merasakan efel-efek yang dapat kita rasakan secara visual. Tingkat kenyamanan, tingkat keamanan, tingkat keindahan, tingkat kepadatan, tingkat keluasan, dan berbagai hal lainnya yang dapat dirasakan. Tahapan kedua adalah formal. Pada tahapan ini kita dapat menilai apa yang dirasakan pada tahap awal secara formal, yakni melihat dengan faktor-faktor komposisi yang membentuk pola-pola visual. Tahapan berikutnya adala ekspresif, yakni bentuk ekspresi yang diinginkan. Hal tersebut berdasarkan pengetahuan atau informasi yang didapat berdasarkan tujuan perancangan. Tahapan terakhir adalah simbol adalah suatu elemen budaya yang memberikan makna ciri khas".

Pak Bardi kemudian menekan tombol spasi dan memunculkan satu slide yang isinya beberapa foto. Dari foto-foto tersebut, kita dapat mengetahui bahwa itu adalah kawasan Kraton Yogyakarta. Kawasan Kraton ini merupakan kawasan perkotaan, bukan hanya karena lokasinya berada di Kota Yogyakarta tapi dilihat dari kepadatan bangunan, kepadatan penduduk, dan aktivitas utamanya merupakan ciri-ciri sebuah kawasan perkotaan. Pak Bardi kemudian menghubungkan dengan empat tahapan yang sebelumnya telah ia jelaskan. Mulai dari tahapan sensory, tentunya yang dapat dirasakan adalah kenyaman dan keamanan yang tinggi jika kita bayangkan tinggal dan beraktivitas di sana.

Memasuki tahap formal, dapat dilihat dari komposisi fisik dari kawasan tersebut. Ukuran jalan yang umumnya sama dengan pola jaringan jalan kotak-kotak atau grid, bentuk bangunannya yang selaras tidak ada yang kontras. Dilihat secara ekspresif, kawasan Kraton ini memiliki tujuan perancangan, yakni sebagai kawasan Kesultanan Yogyakarta yang mana bagian tengahnya sebagai pusat kawasan merupakan Kraton atau Istana Sultan dan disekelilingnya merupakan rumah bagi para abdi dalem Kraton. Sekeliling kawasan Kraton pun terdapat benteng sebagai pelindung sekaligus pembeda kawasan ini dengan kawasan di luarnya. Pada tahapan simbol, Kraton atau istana merupakan simbol budaya dari Yogyakarta, namun dalam konteks ini menjadi simbol dari kawasan Kraton yang segala aktivitasnya berkaitan erat dengan Kraton.

***

Hampir seharian aku cuma duduk di kursi sambil memandangi catatan kuliahku. Tanpa terasa hari sudah gelap dan aku tidak boleh tidur terlalu larut. Besok pagi, aku harus kembali ke Jakarta dengan menggunakan shuttle bus yang telah aku pesan melalui aplikasi pada smartphone. Pada masa kuliah di semester 1 dan 2 lalu, dibalik perjuangan yang amat berat karena program studi, ada dukungan pula secara tidak langsung dari teman-teman kuliahku yang membuat aku mampu menjalankan segala perjuangan ini.

Akupun berpikir kembali, apakah benar program studi ini tidak cocok denganku? Ataukah aku hanya terjebak di masa lalu atau zona nyamanku. Pada saat itu aku tidak tahu masa depanku seperti apa. Apakah program studi tersebut dapat mengantarkan ke gerbang masa depan atau aku hanya akan menjadi pengangguran alias beban negara. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sebaiknya aku bergegas untuk tidur karena sebelum jam 8 pagi aku harus sudah berada di tempat pemberhentian shuttle bus yang aku pesan agar tidak terlambat. Tak lupa aku merapikan barang-barang yang aku bawa pulang nanti, termasuk dua buah binder catatan kuliahku. Di Jakarta nanti aku coba mempelajarinya kembali karena ada satu target yang ingin aku capai.

***

Jam 7 pagi aku sudah bangun dan langsung mandi. Setelah siap, aku bergegas memesan ojek online melalui ponsel. Sambil menunggu kehadiran ojek online aku berpamitan pada mamah.

"Mah, Aska pamit ya", kataku sambil mencium tangan mamah.

"Iya, Aska hati-hati ya, nanti kalau sudah di Jakarta tolong kabari", balas mamah.

Tak lama kemudian ojek online yang aku pesan datang. Aku langsung memakai helm yang dia berikan dan naik sepeda motornya. Mamah melambaikan tangan, aku pun melambaikan tangan sambil berlalu meninggalkan mamah.

Perjalanan dari rumah ke tempat pemberhentian shuttle bus hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Aku berhasil sampai sebelum pukul 8 pagi. Tak lama kemudian shuttle bus tujuan Cikini datang, aku langsung naik dan duduk di kursi paling belakang sesuai yang aku pesan. Tak lama setelah aku duduk, pintu langsung ditutup dan shuttle bus-pun berjalan menuju gerbang tol Pasteur. Jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak, mungkin hanya 50%. Wajar saja, ini masih hari kerja, jadi tidak banyak penumpang dari Bandung ke Jakarta.

Aku yang sedari tadi masih memegang tas ranselku, aku buka dan mengeluarkan satu binder yang ada di tas. Aku berencana melanjutkan membaca catatan kuliahku ini sepanjang perjalanan menuju Jakarta.

***

Tak terasa, semester dua akan segera berakhir. Ini adalah minggu terakhir perkuliahan. Seperti biasa, pada minggu terakhir perkuliahan Pak Roni selalu mengulang materi kuliah sepanjang setengah semester setelah UTS, sama seperti saat semester satu dulu. Mata kuliah yang beliau ampu pada semester kedua ini adalah Teori Perencanaan. Memulai perkuliahan, beliau membuka presentasi yang telah disiapkan. Pada slide pertama, berisi mengenai paradigma konsep perencanaan yang terdiri dari teosentris, positivisme, utopianisme, rasionalisme, dan fenomenologi. Setiap poin dari paradigme tersebut dijelaskan secara umum. Pada poin pertama, yaitu teosentris merupakan paradigma yang bersifat spiritual, metafisik, dan ketuhanan. Poin kedua, positivisme yang memiliki standar, kerangka, dan produk secara detil dengan norma yang mengikat. Poin ketiga, utopianisme yang berdasarkan impian untuk mencapai ideal dan bersifat tidak kaku. Poin keempat, rasionalisme, merupakan konsep yang logis yang memiliki tahapan yang runtut. Poin terakhir, fenomenologi yag berdasarkan fenomena yang unik.

Teori perencanan juga digolongkan menjadi tiga, yaitu theory for, theory of, dan theory inTheory for artinya bahwa teori dapat langsung diterapkan ke objek fisik. Theory of artinya ada prosedur dan sistem. Theory in artinya substansi teori membutuhkan pengetahuan lain di luar ilmu perencanaan. Selain penggolongan tersebut, teori perencanaan juga dapat dilihat dari tradisinya yang terdiri dari empat, yaitu perencanaan sebagai pembentukan sosial, perencanaan sebagai analisis kebiajkan, perencanaan sebagai pembelajaran sosial, dan perencanaan sebagai mobilisasi sosial. Perencanaan juga dibedakan berdasarkan sistem yang berlaku, seperti sistem politik, pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kepemilikan lahan. 

Memadatkan mata kuliah semester dua setelah UTS dalam satu pertemuan tentunya cukup sulit. Ilmu ini bukan hanya untuk ditinjau ulang saja, tetapi harus dipahami karena seluruh mata kuliah akan berkaitan satu dengan yang lain. Aku masih terus mencoba memahami apa yang disampaikan oleh Pak Roni. Pak Roni menyelesaikan paparan kuliah hari terakhir ini dengan menutup aplikasi power point . Tak lupa Pak Roni pun menyalin file presestasi tadi dan menempelkannya ke desktop agar dapat disalin oleh mahasiswa. Setelah itu, Pak Roni pun menutup perkuliahan dan keluar dari ruang kelas.

Aku selalu berpikir, ini tuh seharusnya jadi ilmu yang mudah karena hanya tinggal diingat saja, tetapi kenapa sulit sekali masuk pada otakku. Ya sudahlah, sepertinya aku mengeluh terus. Keluh kesah ini malah yang membentengi diri sendiri sehingga sulit berkembang. Teruskan saja lah, aku sudah kepalang jauh berada di program studi ini. Sudah hampir satu tahun. Dua minggu lagi UAS. Setelah itu aku harus mempersiapkan diri menjadi panitia ospek fakultas. Aku akan menjadi kakak tingkat. Sekali lagi, aku sudah cukup jauh aku berada di program studi ini. Harus aku teruskan. Bahkan niatan aku untuk mengikuti SNMPTN lagi pun harus aku gagalkan mengingat usia. Pertanyaan yang selalu kuulang dalam pikiran. Buat apa? Mau mengulang lagi? Usia sudah cukup tua. Mau kerja di umur berapa? Pastinya kejadian kebimbangan akan terjadi kembali. 

***

Tak terasa, aku sudah sampai di Jakarta. Aku pun turun di pemberhentan terakhir, yaitu Cikini. Tepat di seberang Taman Ismail Marzuki. Aku memeriksa barang-barang sekitarku, termasuk memasukan binder ke dalam tas, memastikan tidak ada barang yang tertinggal dalam shuttle bus. Keluar dari shuttle bus, aku mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi ojek online. Aku langsung memilih tujuanku yang secara otomatis sudah ada di baris pertama kolom pencarian. Kost Melaniasa Salemba, langsung aku klik dan munculah pengemudi yang akan menjemputku. Sekitar lima menit aku menunggu, akhirnya seorang bapak usia 40 tahunan yang menggunakan jaket hijau memanggilku.

"Mas Aska".

Aku langsung menuju  ke arahnya, mengenakan helm berwarna hijau juga, dan naik sepeda motornya. Aku pun meninggalkan shuttle bus yang aku gunakan tadi, menyusuri Jalan Cikini terus hingga akhirnya aku sampai di kost-ku. Akupun langsung merebahkan badanku di atas kasur.

Next - Semester 3: >>

Senin, 03 Januari 2022

[3] Jurnal Mahasiswa Tata Kota - Semester 1: Homesick and Struggling

<< Back - Upaya Persiapan


oleh: Diva Teguh R.


"Selanjutnya!", teriak seorang lelaki yang memakai jaket warna coklat. Jaket itu bukan sembarang jaket, itu adalah jaket himpunan mahasiswa perencanaan wilayah dan kota. Tidak hanya dia yang memakai jaket bertuliskan HMT PWK, beberapa orang di belakangnya pun memakai jaket yang sama dan sedang asyik menata meja dan merapikan dekorasi stan program studi.

"Ya, saya", jawabku.

Aku melangkah maju menghampiri lelaki itu. Lelaki itu mempersilahkan aku untuk mengisi data diri pada lembaran kertas di hadapanku. Kertas itu berisi tabel dengan kolom nomor, nama lengkap, asal daerah, alamat di Jogja, dan tanda tangan. Aku langsung mengisinya.

Nomor 45, Aska Wira Ibrahim, Bandung, -, tanda tangan.

Lelaki itu pun bertanya mengenai tanda strip yang aku tulis.

"Kamu belum ada tempat tinggal di Jogja?", tanyanya.

"Belum Mas", jawabku.

"Sekarang kamu tinggal di mana?", tanyanya lagi.

"Di penginapan dekat Malioboro, Mas", jawabku.

"Oh oke, nanti kamu berkumpul dulu ya, siapa tahu teman-teman yang lain pun sedang cari kost, bisa berbagi informasi kost juga", katanya.

"Baik Mas, terimakasih", jawabku sambil berjalan menuju tempat berkumpulnya mahasiswa berjaket coklat. Beberapa orang di antaranya ada yang menggunakan pakaian bebas. Oh, itu mungkin teman satu angkatanku nanti.

***

Aku merebahkan badanku di atas kasur yang sudah lama tidak aku tiduri. Sambil memeluk binder catatan kuliahku, aku mengingat-ingat bagaimana pertama kalinya aku pergi ke luar kota sendiri.

Seminggu sebelum keberangkatan, aku pergi ke Stasiun Bandung untuk membeli tiket kereta. Pada saat itu, penjualan tiket kereta jarak jauh masih dilakukan secara manual dengan cara mengisi formulir kemudian diserahkan ke kasir untuk diproses.

Aska Wira Ibrahim. 21 Oktober 1992. Nomor KTP, aku tidak ingat, aku buka dompet dan mengisi 3205102110920006. Jalan Kemuning No. 5 Bandung. Tujuan Yogyakarta. KA Lodaya Pagi. 5 Juli 2011. Aku centang kotak Bisnis. Tanda tangan. Lalu aku mengantre menuju loket kasir. Pada hari itu antrean tidak panjang, aku hanya menunggu tiga orang antrean. Sesampainya di depan loket, aku langsung serahkan formulir tersebut.

"Aska Wira Ibrahim, Lodaya Pagi pukul 08.00, tanggal 5 Juli 2011, tujuan Stasiun Tugu Yogyakarta. Seratus sepuluh ribu rupiah", kasir di loket tersebut berbicara lantang dengan mikrofon yang ada di depan mulutnya.

Aku langsung memberikan uang dua lembar lima puluh ribu dan satu lembar uang sepuluh ribu. Tak lama kemudian tiket kereta diberikan kepadaku.

Seminggu kemudian setelah membeli tiket kereta, pukul 6 pagi aku sudah bersiap diri, termasuk mamah yang mau mengantarkanku ke Stasiun Bandung. Sesampainya di stasiun, aku berpamitan, mencium tangan mamah, dan melambaikan tangan menuju tempat pemeriksaan tiket.

Memasuki gerbong kereta, aku cukup deg-degan. Ini pertama kalinya aku naik kereta jarak jauh. Sembilan jam lebih menuju Yogyakarta. Aku pun belum tahu akan meginap di mana. Hanya berbekal informasi bahwa di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta banyak penginapan murah yang bisa aku tinggali sementara. Berbekal uang lima ratus ribu untuk menginap tiga hari di Jogja apakah cukup? Aku tidak tahu. Selama ini aku belum pernah melakukan tawar menawar jika bertransaksi sesuatu. Pasti menyerahkan mamah atau papah yang lebih jago. Ini pengalaman pertama, aku harus bisa.

Aku masih berada di atas kasurku, aku tersenyum sendiri ketika mengingat berhasil menawar penginapan dengan harga lima puluh ribu semalamnya. Apakah ini kemahalan atau kemurahan, aku tidak tahu. Kamarnya memang seadanya, kasur kecil, kipas angin, kamar mandi luar. Seperti kost-an. Tapi tak apa. Aku tiga hari di Jogja untuk melakukan daftar ulang saja, bukan untuk wisata. Saat menuju kampus pun dengan keberanian diri aku mencoba untuk menggunakan bis. Atas saran dari pemilik peginapan, aku disuruh jalan kaki menuju Jalan Mataram. Kemudian naik bis yang ke arah utara. Agak bingung ketika sang pemilik penginapan menyebutkan mata angin untuk menujukan arah. Beliau menunjuk Gunung Merapi dan bilang itu adalah arah utara. Aku paham. Aku naik bis tersebut membayarnya dengan uang pas sebesar empat ribu rupiah. Tak lupa aku menyebutkan tujuanku, yaitu Fakultas Teknik. Sang sopir berkata bahwa bis ini tidak melewati Fakultas Teknik, tapi akan menurunkanku di depan Fakultas Geografi dan aku bisa jalan kaki tidak terlalu jauh. Aku menuruti sarannya.

***

Di hari pendaftaran ulang, kami calon mahasiswa perencanaan wilayah dan kota dikumpulkan dalam empat barisan dan duduk secara lesehan. Semua mahasiwa berjaket coklat berdiri, melihat kami, ada yang tersenyum, ada pula yang terlihat jutek. Aku bergumam dalam hati, ya ampun kelakuan senior di setiap kampus sama saja. Sok-sok-an terlihat galak biar disegani oleh adik angkatan.

"Selamat datang di program studi perencanaan wilayah dan kota. Kalian adalah orang-orang terpilih yang akan berkontribusi di masa depan pada pembangunan wilayah dan kota di Indonesia!", teriak lantang lelaki berbaju coklat yang berbeda dari sebelumnya.

"Seperti yang kita ketahui, banyak wilayah dan kota di Indonesia yang tidak terencana dengan baik, dibuat asal-asalan, sehingga terjadi permasalahan di berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, lingkungan, kebencanaan, dan lainnya", tambahnya.

"Kita mahasiswa perencanaan wilayah dan kota dilahirkan untuk menjadi pemimpin dunia, mengomandoi perencanaan dan kemudian mengimplementasikannya. Saya ketua himpunan mahasiswa perencanaan wilayah dan kota mengajak teman-teman semua, mahasiswa baru untuk bersatu dalam pembangunan Indonesia. Jika saya mengucapkan PWK, jawab dengan lantang, PEMIMPIN DUNIA!", semangat mas ketua himpunan itu mengobarkan semangat para mahasiswa baru.

"PWK!", teriaknya lagi.

"PEMIMPIN DUNIA!", teriak mahasiswa baru.

"Kepalkan tangan dan angkat! PWK!", perintahnya.

"PEMIMPIN DUNIAAA!", jawab mahasiswa baru, termasuk aku yang bersemangat kembali menjadi mahasiswa baru.

Kemeriahan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari para senior dan jurusan lain dalam satu fakultas yang sedang melakukan pendaftaran ulang. Kemeriahan kami sebagai mahasiswa perencanaan wilayah dan kota tentunya tidak kalah dengan jurusan teknik lain. Apalagi dengan teknik mesin yang mayoritas laki-laki semua.

***

Di hari kedua, saatnya aku mencari kost-an. Informasi yang aku peroleh dari teman-teman satu jurusan tidak aku gunakan sama sekali. Mayoritas mereka kost di kawasan Pogung Baru. Sangat dekat dengan kampus dan dengan fasilitas yang bagus tapi sangat jauh dengan harga yang aku ekspektasikan. Tentu dengan berpindah kampus saja, aku sudah sangat merepotkan kedua orang tuaku, tentunya aku tidak mau menambah beban mereka akibat keinginanku kost di tempat yang cukup mahal.

Aku mencari kawasan lain. Aku coba jalan ke kawasan Klebengan, sebelah utara Fakultas Kehutanan. Memang cukup jauh ke Fakultas Teknik, tapi setidaknya di dekat situ ada stasiun sepeda kampus sehingga aku dapat menggunakan sepeda kampus untuk pergi kuliah. Setelah mencari-cari sekitar seharian, akhirnya aku mendapatkan kost dengan harga tiga juta setahun dengan fasilitas kasur, lemari, dan kamar mandi luar. Aku pikir itu cukup bagiku.

Setelah segala urusan selesai terpenuhi, keesokan harinya aku memutuskan untuk pulang ke Bandung. Uang jajanku pun akan segera habis, jangan sampai aku terjebak di Jogja. Aku tidak enak meminta uang lagi ke orang tua. Tanpa membelikan oleh-oleh untuk orang rumah, aku pun kembali ke Bandung.

***

Bulan berikutnya aku harus kembali ke Jogja untuk persiapan ospek. Ospek ini merupakan pengenalan mahasiswa baru kepada lingkungan kampus. Dalam hal ini ada di tingkat fakultas. Dalam satu kelompok aku bersama mahasiswa baru dari jurusan lain bersama-sama mengikuti kegiatan ospek. Tidak jauh berbeda ospek yang aku lakukan tahun sebelumnya saat di jurusan teknik mesin. Banyak tugas dan banyak atribut yang harus dipakai. Perbedaanya adalah di kampus ini cara mengerjakan tugas harus dipikirkan, lebih ke problem solving dan bagaimana caranya bekerja secara bersama-sama. Berbeda dengan kampusku sebelumnya yang tugasnya lebih ke arah keisengan para senior.

Selama lima hari aku ber-ospek-ria bersama teman-temanku. Kegiatan ospek dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore, namun setiap hari selalu ada tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Alhasil, setiap hari aku selalu pulang malam, paling lambat jam 12 malam. Lelah, sangat lelah sekali. Namun, ini konsekuensi atas keputusanku dan aku harus jalani ini sepenuhnya.

Memasuki hari kelima, merupakan hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan. Bahagia karena aku bisa melalui ospek ini dengan segala keterbatasan istirahat yang ada. Sedih tentunya karena berpisah dengan teman-teman karena Senin besok kami sudah memulai perkuliahan di jurusan masing-masing. Walaupun begitu tentu bukan menjadi halangan kami berkomunikasi. Pada saat itu sudah ada Facebook sebagai sosial media kami dalam bercengkrama. Belum ada grup Whatsapp seperti saat ini.

***

Aku bangun dari tempat tidur dan membawa binderku ke meja. Aku duduk di kursi dan aku buka lembaran pertama. Di kertas binder tersebut tertulis jadwal kuliahku dari hari Senin hingga Jumat. Masih terlihat jelas bahwa aku selalu menulis jadwal kuliahku di halaman pertama binder. Aku merasa dulu aku adalah orang terorganisir.

Aku merasa dulu aku adalah orang terorganisir

***

Aku bersiap untuk memasuki hari pertama kuliah. Jadwal kuliah sudah sudah aku tulis dengan rapi dan aku simpan di halaman pertama pada binder. Hal ini dilakukan agar aku tidak lupa. Binder adalah buku catatanku yang selalu aku bawa saat belajar. Pengaturan halaman yang sangat fleksibel membuat aku bisa menambahkan kertas sesuka hati tanpa ada kekhawatiran kehabisan halaman seperti di buku biasa.

Aku pun bukan tipe yang bisa langsung mencatat materi pelajatan di binder. Biasanya aku catat dulu di buku lain atau kertas bekas kemudian aku salin kembali ke binder dengan tulisan warna-warni. Aku memberikan garis vertikal yang membagi kertas halaman menjadi dua dengan proporsi 70:30. Area yang lebih luas digunakan untuk menulis materi inti kuliah sedangkan area yang lebih kecil digunakan untuk menulis catatan tambahan. Menurutku, metode seperti ini paling efektif dalam pembelajaran bagi orang-orang yang memiliki short term memory sepertiku. Menulis ulang membantuku mengingat kembali materi yang telah disampaikan. Penggunaan tinta yang kontras, ditambah dengan catatan berbentuk gambar, skema, atau tabel, membantuku mengingat materi lebih baik karena otakku merekam sesuatu yang khas secara visual.

Aku juga menargetkan indeks prestasiku di semester satu ini. Aku menargetkan memperoleh IP 3,60 sama seperti saat aku berkuliah di jurusan teknik mesin.

Mata kuliah yang aku terima di hari pertama adalah Proses Perencanaan.

"Aska Wira Ibrahim", sebut dosen sambil melihat selembar kertas yang berisi daftar mahasiswa.

"Saya!", jawabku lantang sambil mengangkat tangan.

Aku melihat teman-teman di sekitarku. Sangat serius dan terlihat sangat pintar. Agak pesimis bisa berprestasi dan bersinar di antara mereka. Tapi memang aku bukan orang yang ingin terlihat unggul di antara yang lain. Kegagalan masuk sekolah favorit mengajarkanku untuk ikhlas atas hasil, berjuang yang terbaik untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, dan tidak ngotot untuk jadi yang terbaik. Hanya menjadi diri sendiri sesuai kemampuan. Apabila kemampuan tersebut terasa bersinar oleh orang lain, aku tidak bangga, aku percaya itu karena hasil usahaku sendiri.

"Setiap perencanaan itu memiliki proses tergantung dari tujuannya. Misalnya tujuan menata ruang kota untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di dalamnya, tentu prosesnya akan berbeda jika tujuannya untuk meningkatkan tatanan ekologi", jelas sang dosen yang bernama Pak Djauhari.

Pak Djauhari merupakan profesor di bidang arsitektur dan perencanaan. Beliau berusia sekitar 50 tahunan. Lebih dari 25 tahun beliau mengabdi dan merupakan alumni dari kampus ini. Perawakannya besar dengan wajah yang bersahaja. Rambut-rambut putih sudah delapan puluh persen menghiasi kepalanya. Caranya beliau menjelaskan sungguh tenang. Sesekali beliau melihat ke para mahasiswa baru yang jumlahnya 70 orang. Beliau tidak menunjuk satu orang pun untuk bertanya. Semua mahasiswa pun konsentrasi ke arah layar yang memaparkan bahan presentasi sedangkan telinganya mendengar apa yang dijelaskan oleh Pak Djauhari.

"Dalam proses terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tentunya harus sesuai dengan tujuan dan manfaat yang akan diperoleh. Ada yang tahu perbedaan proses dengan prosedur?", tiba-tiba Pak Djauhari melemparkan pertanyaan.

Kelas hening. Anak-anak seakan berpikir. Aku pun berpikir. Tapi aku tidak tahu jawabannya.

Pak Djauhari kemudian menjelaskan, "Proses dan prosedur itu sangat sulit dibedakan, tapi kita dapat merasakan perbedaanya dalam penggunaannya".

Aku mulai menghela nafas. Otakku mulai merasa tidak sanggup menerima ilmu yang tidak pasti. Aku lebih baik dijejali kalkulus, fisika, dan kimia daripada ilmu dengan jawaban yang tidak ada kepastiannya. Tanganku yang mencoba merekam paparan di layar untuk ditulis di buku mulai bergetar. Isi catatanku kata-kata semua, tidak ada angka, simbol, ataupun. Terjadi penolakkan dalam diri. Tapi aku tahan, ini baru awal, baru pengenalan, wajar teks semua.

"Secara teori tidak ada proses atau prosedur yang baku. Praktiknya proses atau prosedur dibakukan agar terjamin kualitas hasilnya, serta memudahkan evaluasi formal. Setiap negara memiliki proses perencanaan yang berbeda tergantung pendekatan apa yang dilakukan", tambah Pak Djauhari.

Tidak ada yang baku? Aku bergumam dalam hati. Pelajaran apa yang aku terima ini? Tidak jelas sekali. Aku berusaha tenang dan menggenggam kepalan tangan.

"Namun, adanya variasi aliran pemikiran dalam pendekatan tersebut, yang kita sebut teori perencanaan. Ada yang berpikir bahwa proses perencanaan berlandaskan pada pemikiran yang rasional dan objektif. Di sisi lain, ada yang beranggapan bahwa proses perencanaan harus berlandaskan kesepakatan".

"Dalam khazanah teori atau konsep, banyak sekali pendekatan proses perencanaan yang berbeda satu dengan yang lain. Praktik di suatu negara, pemerintah atau pemimpin dapat memilih salah satu aliran dan menetapkannya sebagai proses yang baku dalam perencanaan. bisa juga pemerintah membebaskan pemangku kepentingan untuk memilih proses, asal saling sepakat". 

"Kita bisa membagi jenis pendekatan perencanaan menjadi empat, yaitu master planning (perencanaan induk), comprehensive planning (perencanaan komprehensif atau menyeluruh), strategic planning (perencanaan strategis), dan participatory planning (perencanaan partisipatif).

"Kita bisa membagi jenis pendekatan perencanaan menjadi empat, yaitu master planning (perencanaan induk), comprehensive planning (perencanaan komprehensif atau menyeluruh), strategic planning (perencanaan strategis), dan participatory planning (pe...

"Perbedaan keempat ragam perencanaan tersebut dapat dilihat dari dominasi pengambil keputusan dan sistem politik yang berlaku", lanjut Pak Djauhari.

"Perencanaan induk atau dikenal dengan master planning merupakan konsep perencanaan yang mana pengambil keputusannya adalah raja atau penguasa. Raja atau penguasa dapat menentukan bentuk penataan kota sesuai dengan apa yang dia inginkan tentunya dibantu oleh seorang ahli di bidang perencanaan. Hal ini dikarenakan sistem politik yang dipegang adalah teokrasi. Raja atau penguasa berperan sebagai wakil Tuhansehingga berhak menentukan apapun . Bentuk master planning yang masih terlihat hingga saat ini seperti di Yogyakarta adalah kawasan Kraton yang dipengaruhi oleh keputusan sultan pada saat itu dan Kota Baru yang dipengaruhi oleh keputusan penjajah Belanda. Praktik master planning dalam perencanaan wilayah dan kota di Indonesia sudah berakhir hingga masa kolonial. Namun, praktik master planning hingga saat ini tidak sepenuhnya hilang. Pengembang-pengembang kawasan ataupun perumahan masih menerapkan konsep ini. Tapi memang perlu disesuaikan dengan perencanaan makro yang dibuat oleh pemerintah daerah yang dibuat dengan pendekatan perencanaan komprehensif. Hal ini juga yang membedakan skup antara arsitektur dan perencanaan. Arsitektur menerapkan konsep master planning dengan lingkup desain interior, bangunan, hingga kawasan sedangkan perencanaan menerapkan comprehensive planning dengan lingkup kawasan hingga wilayah", jelas Pak Djauhari.

Tulisan di kertasku mulai tak tentu arah. Catatanku hanya berisi paragraf, tidak ada ada gambar atau bagan yang dapat mempermudah aku belajar. Memang aku akan menulis ulang di binder tapi jika bentuk catatan seperti ini, aku harus ekstra keras berpikir mengubah paragraf ini menjadi sebuah bagan. Sepertinya akan sangat melelahkan.

Satu SKS pertama yang setara dengan lima puluh menit tatap muka telah terlewati. Mata kuliah proses perencanaan ini memiliki bobot dua SKS, artinya aku harus melalui lima puluh menit kedua sampai akhirya Pak Djauhari berhenti bicara dan menutup kelasnya. Terasa lama sekali untuk pelajaran yang terlalu banyak teori. Aku suka matematika, fisika, dan kimia. Apakah program studi ini mempelajari ilmu dasar tersebut. Apakah aku salah pilih jurusan? Aku harus menahannya.

Memasuki lima puluh menit kedua, Pak Djauhari mulai menjelaskan mengenai perencanaan komprehensif. Pada saat itu, jujur aku baru mendengar istilah komprehensif. Komprehensif dapat diartikan menyeluruh. Tapi menyeluruh apa yang dimaksud? Aku hanya bertanya dalam hati, hingga akhirnya Pak Djauhari menjelaskannya di slide berikutnya.

"Perencanaan komprehensif menggunakan pendekatan dengan memikirkan berbagai aspek secara lengkap dan menyeluruh. Dalam hal ini terdapat seorang perencana yang menjadi pemimpin dalam menerapkan proses tersebut. Sang leader mengomandoi seluruh tenaga ahli di berbagai bidang untuk menganalisis aspek-aspek dalam perencanaan yang secara umum dibagi atas tiga kelompok besar, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Tidak lupa melibatkan masyarakat atau perwakilannya untuk memberikan masukan terhadap perencanaan yang disusun. Perencanaan komprehensif ini tentu memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Hal ini dkarenakan berbagai hasil analisis dari berbagai aspek harus dirangkum menjadi suatu rencana untuh yang memberikan keuntungan bagi semua aspek, minimal tingkat kerugiannya rendah. Hasil perencanannya pun bersifat detil. Menurut Levy tahun 1997, dalam menggunakan pendekatan ini harus melalui tahapan berikut, yaitu melakukan analisis atau riset; memformulasikan tujuan perencanaan untuk masyarakat; memformulasikan perencanaan; mengimplementasikan perencanaan; serta meninjau ulang dan memperbaharui hasil implementasi. Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu tidak memerhatikan sumberdaya yang tersedia karena membutuhkan ahli yang cukup banyak dan mumpuni di bidangnya".

Wajah para mahasiswa mulai mengerut mendengar penjelasan Pak Djauhari. Meskipun pada umumnya mereka adalah anak-anak yang pintar dan berasal dari sekolah unggulan di berbagai daerah, tapi sepertinya beberapa ada yang kaget juga dengan sistem perkuliahan yang sangat berbeda dengan sistem pembelajaran di sekolah. Mengenai ha tersebut, aku tidak mengalami keterkejutan sama sekali. Hal yang membuatku shock culture hanya materi perkuliahannya yang agak kurang cocok denganku. Aku berupaya tetap mencatat slide dan apa yang dijelaskan oleh Pak Djauhari meskipun Pak Djauhari telah mengatakan bahwa bahan paparannya akan didistribusikan pada kami melalui ketua kelas.

"Yang keempat adalah perencanaan strategis. Pendekatan ini hanya berfokus pada isu strategis yang akan ditangani. Misalnya permasalahan banjir, maka aspek-aspek yang akan dianalisis adalah seluruh aspek yang berkaitan dengan banjir. Peran masyarakat sebagai pihak yang menerima manfaat dalam hal ini penangan banjir sangat diperlukan walau dalam prosesnya tetap diperlukan seorang ahli perencanaan sebagai fasilitator. Tidak seperti perencanaan induk yang mengasilkan suatu perencanaan fisik, perencanaan strategis ini bisa menghasilkan perencanaan sosial".

Kata-kata sosial membuatku tercengang. Selama bersekolah aku paling tidak suka ilmu sosial, apalagi sosiologi. Itu ilmu terabstrak yang pernah aku pelajari. Setiap ulangan tidak pernah aku mendapatkan nilai di atas delapan puluh. Jawaban yang aku anggap benar tidak pernah sesuai dengan teori. Aku pun tidak pernah memikirkan apakah rasa sosialku rendah atau tidak, namanya anak sekolah masih bersikeras dengan pendapatnya. Ketidaksukaanku pada ilmu sosial membuatku untuk masuk ke kelas IPA saat memasuki kelas XI. Pada saat naik kelas XI, aku berhasil masuk kelas IPA dan meninggalkan pelajaran sosiologi dan ekonomi yang tidak aku sukai.

"Perencanaan strategis ini sangat memerhatikan sumberdaya yang ada karena memang terfokus pada isu-isu yang dipilih. Pendekatan yang terakhir adalah paticipatory planning atau perencanaan partisipatif. Pendekatan ini sepenuhnya diserahkan kepada masayarakat, ahli perencanaan hanya sebagai fasilitator saja. Permasalahan yang akan diselesaikan, tingkat kedalaman analisis, formulasi perencanaan, hingga implementasinya semuanya diserahkan kepada masyarakat selaku penerima manfaat", sambung Pak Djauhari.

"Apakah ada pertanyaan?", tanya Pak Djauhari.

Aku melirik keadaan sekitar, sepertinya tidak ada yang bertanya sama sekali. Apakah aku akan bertanya? Tentu saja tidak, aku adalah orang yang tidak kritis. Mungkin pertanyaan akan terlintas dalam pikiranku setelah sesampai di kost dan menyalin ulang catatan ini.

"Sepertinya tidak ada, baiklah untuk perkuliahan hari pertama ini, kita cukupkan saja. Terima kasih atas perhatian semuanya. Saya pamit", tutup Pak Djauhari.

"Terima kasih Pak", serentak kami semua mengucapkan terima kasih setelah kelas berakhir.

***

Dari delapan mata kuliah yang wajib diambil oleh mahasiswa baru, hanya satu yang paling aku suka, yaitu Studio Analisis Kawasan. Karena jumlah SKS-nya paling banyak, maka dalam satu minggu kelas studio terdapat dua kali pertemuan. Dalam kelas studio ini kami satu angkatan dibagi menjadi sepuluh kelompok dan duduk sesuai kelompoknya. Ruangan studio yang luas diberi sekat menjadi sepuluh bagian di setiap sisinya sebagai ruang kerja setiap kelompok. Di bagian tengah studio dibuat area terbuka untuk berkumpul seluruh mahasiswa bila dosen pengampu memberikan materi.

Kelas studio ini sama halnya dengan kelas praktikum. Pada kelas ini kami mengaplikasikan seluruh materi yang telah diberikan dalam kelas. Sesuai nama mata kuliahnya pada semester satu ini adalah Studio Analisis Kawasan, maka kami diberikan tugas untuk menganalisis kawasan. Pak Warno selaku dosen pengampu mata kuliah menyampaikan bahwa kawasan untuk dianalisis adalah kawasan Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. Dari satu kecamatan tersebut, dibagi menjadi sepuluh kawasan untuk masing-masing kelompok studio. Pembagiannya dilakukan secara adil berdasarkan batas fisik kawasan tersebut, yaitu sungai dan jalan.

Aku sangat bersyukur mendapatkan anggota kelompok yang seru. Tidak ada satupun yang mendominasi dalam berpendapat. Semuanya punya peran yang sama. Tapi memang perlu ada satu orang yang menadi ketua kelompok. Dipilihlah Ardo sebagai ketua kelompok karena dari sisi umur dia yang lebih tua. Karena kami semua baru masuk dan saling mengenal, tentunya usia menjadi alasan termudah dalam menentukan ketua kelompok. Tidak hanya bisa jadi teman berdiskusi, teman satu kelompokku ini juga menjadi teman bermain, teman makan, dan teman jalan-jalan yang asyik. Hal ini juga yang membuat kelas studio merupakan kelas favorit yang membuat aku masih kuat menghadapi perkuliahan di semester satu ini.

***

Di bagian bawah meja kerja terdapat laci yang pegangannya tinggal separuh. Aku heran mengapa pegangan laci ini tinggal separuh, mungkin terbentur atau terjatuh. Ku buka laci tersebut dan aku menemukan setumpuk tiket kereta jarak jauh yang berwarna mera kecoklatan. Tulisan pada tiket itu sudah mulai pudar, tapi aku bisa melihat tahun pada tiket tersebut, 2011 dan 2012. Sudah lama sekali. Tertulis kereta Kahuripan, Lempuyangan - Padalarang, dua puluh enam ribu rupiah. Aku inget sekali bagaimana di tahun pertama kuliah, selalu pulang ke Bandung setiap dua minggu sekali, naik kereta ekonomi yang menggunakan kipas angin, selama 10 jam. Tidak hanya itu, masih ada penjual yang berjualan barang apapun dan setiap lima menit sekali melintasi gerbong.

Sebelum tahun 2013, kondisi kereta kelas ekonomi memang sungguh memprihatinkan. Kahuripan merupakan kereta jarak jauh dengan relasi Kediri - Padalarang dan sebaliknya. Jarak Kediri - Padalarang tentu bukan sejengkal, butuh waktu sekitar lima belas jam perjalanan. Sepertinya memang orang berpenghasilan menengah ke bawah yang menjadi penumpang. Tentunya saja dengan harga tiket kurang dari tiga puluh ribu rupiah dapat berpergian lintas provinsi. Para penumpang yang berpenampilan lusuh karena sepanjang perjalan tidur dalam keadaan duduk dan berdempetan dengan penumpang lainnya. Sisi kanan terdapat kursi panjang dengan kapasitas tiga penumpang dan sisi kiri kursi dengan kapasitas dua penumpang. Selain itu setiap sisi kursinya berhadapan yang membuat antar penumpang saling berhadapan. Sirkulasi udara hanya digerakan oleh kipas angin yang ditempel di langit-langi gerbong. Bergerak berputar menghembuskan angin ke penjuru gerbong. Setiap gerbong memiliki tiga buah kipas angin. Tak ayal ada penumpang yang tidak mendapatkan kursi dan rela membeli tiket tanpa tempat duduk. Mereka berdiri di antara kursi atau tidur di bordes sehingga menghalangi pintu toilet atau pintu keluar kereta. Selain itu, setiap lima menit sekali selalu ada pedagang yang berjualan menawarkan berbagai barang baik yang berfaedah maupun tidak ke setiap penumpang. Pedagang itu tidak hanya satu, tetapi banyak. Bisa naik turun di setiap stasiun sesuka hati. Beberapa penumpang sering merasa terganggu atas suara berisik yang dikumandankan para pedangang tersebut, tapi para penumpang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya memejamkan mata, berharap segera sampai di tempat tujuan.

***

"Mah, Aska mau pulang Jumat besok", aku berdiri sambil memegang telepon genggam.

"Kok suaramu sendu? Ada masalah? Kembali lagi ke Jogja kapan?", tanya mamah di seberang sana.

"Capek mah, mau pulang dulu ke rumah. Pulang Minggu malam supaya sampainya Senin pagi karena jam 9 pagi ada kuliah", jawabku.

"Ya sudah, mamah tunggu ya, jangan lupa beli tiket kereta", kata mamah.

"Iya mah, nanti sore mau ke stasiun untuk beli tiket", jawabku kemudian menutup telepon.

Sudah satu bulan selama aku di Jogja, aku selalu pulang ke Bandung tiap dua minggu sekali. Kebetulan aku baru mendapatkan informasi kalau ada kereta ekonomi ke Bandung dengan harga dua puluh empat ribu rupiah. Bukan hanya setiap dua minggu, bahkan seminggu sekali pun tidak akan mengurangi jatah uang jajanku. Kondisi kereta kelas ekonomi yang seadanya tidak membuat aku berpikir ulang untuk pulang ke Bandung. Sejujurnya aku lelah mengikuti perkuliahan di semester satu karena ada sesuatu penolakan yang membuat aku malas berkuliah. Jogja yang berhati nyaman memang membuat aku jatuh hati untuk tinggal lama di sana, tapi perkuliahan ini membuat kenyamananku itu berkurang. Setiap habis kuliah aku menjadi mahasiswa kupu-kupu, yaitu kuliah-pulang kuliah-pulang. Tujuannya agar aku bisa fokus pada studiku, mempelajari apa yang sudah dijelaskan oleh dosen, tetapi setiap ku berusaha mempelajarinya aku merasa ilmu ini terlalu abstrak. Otakku tidak bisa menyerapnya. Hingga akhirnya ada pemikiran untuk mengikuti SNMPTN kembali di kesempatan terakhirku ini. Mungkin aku mengambil kedokteran atau kembali ke teknik mesin yang sempat aku pelajari.

Kebimbangan tersebut membuatku hanya berbaring di atas kasur. Melihat langit-langit kosan yang dicat biru sama seperti dindingnya. Apakah aku bisa bertahan dan mendapatkan gelar sarjana teknik. Aku ingat kembali saat memilih program studi ini. Ini adalah keputusanku sendiri tanpa ada campur tangan dari kedua orang tuaku. Orang tuaku pun sepenuhnya menyerahkan keputusan tersebut padaku dan bersedia membayar uang kuliahku. Setidaknya dengan rajin pulang ke rumah, aku bisa melihat kedua orang tuaku yang bangga atas pencapaianku diterima di kampus ini. Aku tidak boleh menyerah dan terus berusaha.

***

Tujuh hari minggu tenang telah aku lalui. Aku memilih seminggu berada di Bandung untuk mempersiapkan UAS semester satu ini. Tentu saja selama minggu tenang, aku lebih banyak bermain dan bertemu teman-teman sekolahku dulu dibandingkan dengan belajar. Akupun memaksimalkan minggu tenang dengan pulang di hari Sabtu malam dan sampai di hari Minggu pagi. Masih ada cukup waktu untuk belajar dan beristirahat hingga Senin tiba, hari pertama UAS berlangsung.

Senin pagi aku sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Aku sudah memeriksa kartu ujian, pulpen, dan tip-X sebagai alat perangku. Sesampainya di ruang ujian, aku mencari nomor kursi dan duduk sesuai dengan nomor yang tertera pada kartu ujian. Kertas jawaban mulai dibagikan. Kertas jawaban merupakan kertas folio bergaris sebanyak dua lembar atau empat sisi untuk mengisi jawaban. Para peserta ujian kemudian dipersilahkan mengisi identitas diri di pojok kiri atas lembar ujian. Nama, nomor induk mahasiswa, mata kuliah, hari dan tanggal, serta tanda tangan. Aku mengisinya dengan pulpen hitam yang aku bawa. Kemudian pengawas ujian yang merupakan petugas administrasi akademik membagikan satu lembar kertas A4 yang merupakan soal ujian ke masing-masing peserta. Setelah semuanya terbagikan, pengawas mengumumkan bahwa waktu ujian dimulai, para peserta dipersilahkan membuka lembar soal dan mulai menjawab soal-soal pada lembar yang tersedia.

Ujian di setiap mata kuliah tipe soalnya sama, yaitu jelaskan dan sebutkan. Semua soalnya merupakan soal esai dan ujiannya tutup buka. Aku yang mudah lupa dan malas belajar tentu saja agak kesulitan menjawabnya. Aku mencoba menjawab sesuai dengan logika saja. Alhasil jawabanku hanya satu atau dua kalimat saja. Pada tiga puluh menin terakhir aku sudah menyelesaikan semua soal tersebut. Tentu aku percaya diri dengan jawabanku. Tapi kepercayaan diri itu langsung musnah ketika temanku mengangkat tangan dan meminta lembar jawaban tambahan. Semua peserta ujian melihatnya. Kuintip lembar jawabannya yang hanya berselang dua meja dari mejaku, isinya penuh berisi tulisan. Tidak habis pikir, dia membuat novel atau apa. Bahkan empat halaman folio besar bergaris tidak mampu menampung semua jawabannya yang membuat dia harus menambah kertas ujian lagi. Kemudian beberapa orang menyusulnya meminta kertas ujian tambahan. Aku melihat kertas ujianku yang hanya menghabiskan dua halaman kertas folio bergaris itu. Pikiranku sudah buntu, aku tidak punya ide lagi untuk menulis apa. Waktu tinggal sisa lima menit, apakah aku harus menceritakan latar belakang keluargaku hingga akhirnya aku bisa berkuliah di Jogja untuk menyaingi temanku yang lembar jawaban ujiannya sangat penuh?

Waktu habis, para peserta tidak boleh mengisi lembar ujian lagi. Satu persatu lembar jawaban diestafetkan ke depan. Tiga lembar jawaban milik tiga peserta di belakangku semuanya penuh dengan tulisan yang membuat kertas folio itu tidak dapat tegak jika dipegang satu sisi, dia akan jatuh lembek ke bawah karena setiap kertasnya digoresi oleh tulisan. Aku terkaget-kaget dengan cara teman-temanku mengisi jawaban. Apa yang mereka tulis? Tapi aku tetap percaya diri dan yakin aku bisa mencapai indeks prestasi yang aku targetkan.

***

Setelah melalui serangkaian ujian. Saatnya libur semester. Selama satu bulan aku bisa pulang ke Bandung. Tentu saja aku langsung membeli tiket kereta dan menyiapkan barang-barang untuk dibawa pulang. Saat itu aku pulang bersama teman sekelasku bernama Andi. Kami sepakat untuk kembali ke Jogja bersama dengan nomor kursi yang bersebelahan agar ada teman ngobrol dan bisa saling bergantian saat tidur untuk menjaga barang bawaan kami. Sesampainya di Bandung kami berpisah di stasiun. Andi dijemput oleh ayahnya sedangkan aku dijemput oleh kakakku. Selama satu bulan ini aku akan menikmati hari liburku sambil menunggu IP semester 1 ku keluar.

Di minggu kedua libur semester, grup angkatanku di Facebook mulai ramai. Ternyata Fanny, anak yang rajin membuka portal akademik untuk mengecek nilai yang keluar. Setiap hari satu demi satu nilai mata kuliah mulai keluar dan diawal minggu ketiga akhirnya indeks prestasi anak-anak muncul. Wajah murungku tidak tertahan lagi, targetku tidak tercapai. Nilai B mendominasi portal akademikku dibanding dengan nilai A. Aku merasa bisa mengerjakan tapi mengapa hasilnya tidak memuaskan. Aku sungguh kecewa. Aku hanya mendapatkan IP sebesar 3,3. Keinginanku untuk mencoba SNMPTN kembali semakin besar tapi aku masih ada semester dua yang harus dihadapi. Apakah aku akan asal-asalan menghadapi semester dua atau aku akan berusaha memperbaiki ini semua?

***

Next - Bernahkah Ini Passion? >>

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku tentang Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepatn...