Delapan belas tahun. Bukan anak yang pintar tapi cukup rajin. Bukan dari keluarga kaya tapi sederhana.
Aku memahami sekali bagaimana kemampuanku dan kondisi keluargaku. Untuk bisa mencapai yang aku inginkan tentunya aku berusaha sendiri. Bahkan kegagalan masuk sekolah negeri favorit pun sudah menjadi bagian hidupku. Tidak hanya itu, kegagalan dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur SNMPTN harus aku terima dengan lapang dada. Bagiku dan keluargaku, kuliah merupakan gerbang masa depan, tentunya kegagalan ini merupakan pukulan yang amat keras. Bersekolah di sekolah negeri itu memiliki kebanggaan bagi mamah sama papah. Akibat kegagalan ini, aku harus menahan kecewa begitupun kedua orang tuaku. Namun, orang tuaku tetap menginginkan anaknya untuk kuliah walau di kampus swasta. Karena sudah tidak ada rasa semangat, aku menyerahkan pilihan universitas dan jurusan kepada orang tuaku. Hingga akhirnya aku kuliah di jurusan teknik mesin.
Selama satu tahun kuliah di teknik mesin, aku cukup menikmatinya. Prestasiku cukup oke dibandingkan teman-temanku yang lain. Berhasil memperoleh Indeks Prestasi 3,6 tentu merupakan suatu kebanggaan. Tapi, di lubuk hati yang paling dalam ada rasa ketidakcocokan dengan jurusan yang aku jalani selama satu tahun itu. Entah apa.
Sampai di bulan April 2011, mamah memanggilku, "Dek sini!"
"Iya mah", jawabku sambil berjalan menghampiri mamah yang sedang duduk di kursi ruang tamu.
"Sebentar lagi ada SNMPTN lagi, adek coba ya di kesempatan kedua ini. Biar enggak penasaran sama yang tahun kemarin", pinta mamah.
"Gimana ya mah, soalnya di kampus juga lagi sibuk-sibuknya. Takutnya enggak sempat belajar. Terus kalau keterima nanti gimana? Ini enggak apa-apa kalo adek nyia-nyiain kuliah yang sudah dibayar selama satu tahun?", aku menjawab dengan bingung dan ragu.
"Ya sudah, gimana adek aja. Kalau mau coba, ya coba saja. Enggak usah mikirin uang kuliah di kampus. Kalau masuk negeri mamah sama papah yang bangga. Uang bisa dicari lagi dan mudah-mudahan di kampus negeri bisa mendatangkan rezeki yang lebih baik", kata mamah.
Aku terdiam sejenak dan menjawab, "ya udah mah, nanti adek pikirkan lagi".
Mamah beranjak ke dapur dan akupun masuk ke dalam kamar.
Dalam kamar tentu saja aku memikirkan ini baik-baik. Berkuliah di kampus negeri memang tidak menjamin kesuksesan, tapi ada kebanggaan tersendiri. Sebagian kecil untuk aku pribadi, tapi orang tua yang jauh lebih bangga. Prestasiku di kampus swasta ini pun tergolong cemerlang, kemungkinan karirku juga akan baik.
Aku memikirkan kembali ke-kurang-sreg-an aku selama berkuliah hampir satu tahun yang belum terjawab hingga saat ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba SNMPTN tahun 2011 ini. Pilihan kampus di Bandung tentunya sudah aku coret dalam daftar karena alasan bodoh. Aku tidak mau menjadi adik kelas teman-teman sekolahku dulu. Selain itu, akupun kecewa dengan dua kampus negeri yang telah menolakku di tahun 2010. Aku tak tahu mengapa jadi baper dengan kampusnya, padahal sebenarnya aku yang tidak bisa mengerjakan soal dengan baik waktu itu.
Sudah kuputuskan aku akan mengambil jurusan teknik planologi di kampus negeri di Yogyakarta. ilihan tersebut diambil karena jurusan tersebut passing grade-nya tidak terlalu tinggi dan sepertinya menarik. Selain itu, sebagai remaja yang akan menginjak umur sembilan belas tahun, keinginan merantau dan jauh dari orang tua sangat diimpikan. Hidup sendiri, menumbuhkan rasa kemandirian, tidak tergantung dengan orang tua, dan ditambah lagi seumur hidup aku berada di Bandung tanpa tahu dunia di luar Bandung itu seperti apa.
Selama persiapan tes SNMPTN 2011, aku hanya berlatih mengerjakan soal pada pukul tiga pagi pagi hingga waktu subuh. Waktu yang aku punya hanya itu. Selama jam kuliah hingga malam hari, hari-hariku dipenuhi oleh tugas kampus apalagi praktikum yang tiada henti. Meskipun aku memprioritaskan perkuliahanku, tapi ada keinginan dalam diri untuk meninggalkan perkuliahan ini. Sekali lagi, entahlah, padahal aku punya teman-teman yang baik. Apalagi yang namanya anak jurusan teknik mesin, solidarity forever, solidaritas selamanya, tanpa batasan.
Keinginanku untuk mengikuti SNMPTN di tahun 2011 tentunya aku ceritakan pada teman dekatku di kampus. Aku harap temanku itu mendukung dan akupun memohon untuk merahasiakan dari anak-anak yang lain. Tapi ternyata permintaanku tidak dijalankan. Tidak hanya satu angkatan, tetapi beberapa senior mengetahui keinginan untuk mengikuti SNMPTN, ditambah lagi bukan mengambil jurusan teknik mesin. Sontak perbincangan mengenai diriku ada di mana-mana. Bahkan berpapasan dengan teman seangkatan atau senior pun, tak luput dari sindiran. Aku tak menyangka, teman-teman dan senior yang awalnya baik, mulutnya berubah menjadi pedas.
"Eh ada yang mau pindah jurusan"
"Sia-sia dong sudah satu tahun di sini"
"Kemarin capek-capek ikut ospek buat apa?"
"Kemarin bagus-bagus praktikum dan dapat nilai bagus buat apa?"
"Wah ada sisa jaket himpunan nih, enaknya diapain ya?"
"Kalau kamu pindah, kamu bukan teman kita lagi"
Sebagai mahasiswa tahun pertama yang awalnya disanjung hingga akhirnya dibenci satu angkatan dan senior adalah hal yang berat buatku. Keinginanku untuk pindah malah semakin menggebu. Aktivitas himpunan yang seharusnya diikuti oleh mahasiswa tahun pertama aku lewati. Aku muak dengan teman-teman dan senior seperti itu.
Mereka seakan lupa bahwa aku yang membantu mereka belajar memahami kalkulus dasar, fisika dasar, dan kimia dasar agar mendapat nilai bagus. Mereka juga lupa bahwa aku telah membantu mereka dalam penulisan laporan praktikum agar tidak dicoret-coret oleh asisten laboratorium yang merupakan senior. Mereka juga lupa karena aku salah satu mahasiswa yang cukup cemerlang membuat senior tidak berani berlaku keras pada angkatanku. Tetapi ketika aku berniat untuk keluar, mencari yang terbaik untuk masa depanku, mereka malah menganggapku sebagai penghianat. Perusak moto solidarity forever.
Aku yakin mereka hanya memanfaatkan aku untuk belajar, tameng dosen, dan tameng senior. Aku menjadi seperti itupun bukan karena ingin diterima mereka, tapi mereka yang menarikku agar otakku dapat dimanfaatkan.
***
Mendekati hari tes SNMPTN, perkuliahanku malah semakin sibuk karena mendekati UAS. Semakin banyak tugas-tugas yang tidak masuk akal dari para asisten laboratorium, seperti laporan yang harus ditulis tangan dengan tinta hitam, dijilid hardcover dengan tinta warna emas.
Secara konsisten aku masih berlatih mengerjakan soal setiap pagi. Niatku sungguh sangat menggebu-gebu. Beruntungnya, hari ujian SNMPTN ku dilaksanakan di minggu tenang sebelum UAS. Minggu tenang atau istilah lainnya pekan sunyi merupakan hari libur yang diberikan selama seminggu kepada mahasiswa sebelum melaksanakan UAS.
Semenjak mengetahui sikap teman-temanku yang berubah, aku menjadi orang yang kurang bergaul dengan mereka. Aku lebih senang bergaul dengan temanku dari jurusan teknik informatika yang kebetulan teman SMA-ku. Mereka inilah yang mendukungku sepenuh hati untuk ikut SNMPTN lagi meskipun ada konsekuensi aku akan meninggalkan mereka.
Akupun masih sadar atas kemungkinan tidak diterima di jurusan yang aku pilih. Aku berusaha mencari cara agar aku bisa tetap melanjutkan ke semester tiga tanpa harus membayar uang kuliah di tahun kedua. Hal ini dikarenakan bayar uang kuliah di tahun kedua harus dilunasi sebelum pengumuman SNMPTN. Setelah mencari tahu caranya akhirnya aku bilang ke mamah dan mengajaknya ke kampus.
"Mah, bayar kuliah tahun kedua harus lunas sebelum pengumuman SNMPTN. Ini lanjut kuliah teknik mesin aja atau pindah kalau keterima?", tanyaku.
"Kalau diterima negeri ya pindah saja. Bisa enggak minta penundaan pembayaran?", mamah bertanya balik.
"Bisa, tapi mamah harus ngomong ke dekan fakultas sama bagian kemahasiswaan universitas", jawabku.
"Ya sudah besok kita ke kampus!", seru mamah.
Entah kenapa mamah begitu semangat mengurusi hal tersebut. Padahal waktu aku SD, SMP, dan SMA bisa dibilang aku mengurus apa-apa sendiri. Mungkin karena kalau aku lakukan sendiri, belum tentu pihak kampus percaya. Maka tameng orang tua sangat berperan untuk meyakinkan kampus agar aku mendapat keringanan penundaan pembayaran.
Usaha mamah seratus persen berhasil. Aku mendapat keringanan selama satu bulan penundaan pembayaran. Aku sangat bersyukur sekali. Setidaknya tidak ada beban pikiran terkait hal tersebut. Aku bisa tenang saat mengerjakan tes SNMPTN maupun UAS pekan setelahnya.
***
Memasuki libur semester, aku benar-benar tidak memikirkan hasil SNMPTN maupun UAS. Aku benar-benar istirahat. Bahkan ketika diajak untuk kemping di Rancaupas bersama teman-teman SMP, tanpa pikir panjang aku ikut. Sejak SMP aku memang sudah terbiasa kemping aktif dalam ekstrakulikuler.
Rancaupas adalah kawasan perkemahan yang ada di kawasan Bandung Selatan, tepatnya di Gunung Patuha. Perjalanan ke Rancaupas dari Kota Bandung memakan waktu sekitar dua jam. Udara yang dingin dan keindahan alam dengan hamparan perkebunan teh, membuat suasana syahdu pada setiap orang yang membutuhkan ketenangan.
Gelak tawa yang tercipta saat berkumpul bersama teman-teman tak terasa hingga malam kedua. Malam yang seharusnya membuatku berdebar karena hasil SNMPTN seolah terlupakan karena keseruan. Tak peduli bagaimana hasilnya yang penting malam ini aku bahagia. Tiba-tiba ponsel yang selama di Rancaupas tidak berdering karena tidak ada sinyal akhirnya berbunyi. Sangat langka sekali ada sinyal di Rancaupas. Aku melihat siapa yang menelpon, ternyata mamah.
"Halo mah?", tanyaku.
"Dek, hasil SNMPTN sudah ada", jawab mamah.
"Nanti saja mah di ceknya kalau sudah di rumah", kataku.
"Ini mamah lagi di rumah Angga, ikut buka di sini", kata mamahku yang sangat antusias dengan hasil SNMPTN anaknya sampai ke rumah tetangga.
"Terus gimana mah hasilnya?", tanyaku turut penasaran.
"Selamat ya dek lulus, loh tapi kok di Yogyakarta?", nada kebahagian mamahku menurun.
"Mmmm... iya mah, ya udah ya mah ini lagi ada kegiatan, nanti diomongin lagi", jawabku langsung menutup telepon.
Sejujurnya aku memang tidak menceritakan pilihanku kepada mamah. Keputusanku aku ambil sendiri tanpa adanya musyawarah. Pulang kemping, aku ceritakan alasanku memilih. Mamah sama papah menerima pendapatku meskipun agak kecewa karena aku tidak memilih kampus di Bandung. Akupun tidak memaksa, apabila tidak diizinkanpun aku akan tetap meneruskan kuliah teknik mesin. Akhirnya, kedua orang tuaku setuju melepas anaknya untuk merantau ke kota gudeg untuk kuliah.
***
Sambil memegang binder catatan kuliahku, aku tersenyum mengingat bagaimana keberanianku memilih kampus di luar kota tanpa persetujuan orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar