"Selanjutnya!", teriak seorang lelaki yang memakai jaket warna coklat. Jaket itu bukan sembarang jaket, itu adalah jaket himpunan mahasiswa perencanaan wilayah dan kota. Tidak hanya dia yang memakai jaket bertuliskan HMT PWK, beberapa orang di belakangnya pun memakai jaket yang sama dan sedang asyik menata meja dan merapikan dekorasi stan program studi.
"Ya, saya", jawabku.
Aku melangkah maju menghampiri lelaki itu. Lelaki itu mempersilahkan aku untuk mengisi data diri pada lembaran kertas di hadapanku. Kertas itu berisi tabel dengan kolom nomor, nama lengkap, asal daerah, alamat di Jogja, dan tanda tangan. Aku langsung mengisinya.
Nomor 45, Aska Wira Ibrahim, Bandung, -, tanda tangan.
Lelaki itu pun bertanya mengenai tanda strip yang aku tulis.
"Kamu belum ada tempat tinggal di Jogja?", tanyanya.
"Belum Mas", jawabku.
"Sekarang kamu tinggal di mana?", tanyanya lagi.
"Di penginapan dekat Malioboro, Mas", jawabku.
"Oh oke, nanti kamu berkumpul dulu ya, siapa tahu teman-teman yang lain pun sedang cari kost, bisa berbagi informasi kost juga", katanya.
"Baik Mas, terimakasih", jawabku sambil berjalan menuju tempat berkumpulnya mahasiswa berjaket coklat. Beberapa orang di antaranya ada yang menggunakan pakaian bebas. Oh, itu mungkin teman satu angkatanku nanti.
***
Aku merebahkan badanku di atas kasur yang sudah lama tidak aku tiduri. Sambil memeluk binder catatan kuliahku, aku mengingat-ingat bagaimana pertama kalinya aku pergi ke luar kota sendiri.
Seminggu sebelum keberangkatan, aku pergi ke Stasiun Bandung untuk membeli tiket kereta. Pada saat itu, penjualan tiket kereta jarak jauh masih dilakukan secara manual dengan cara mengisi formulir kemudian diserahkan ke kasir untuk diproses.
Aska Wira Ibrahim. 21 Oktober 1992. Nomor KTP, aku tidak ingat, aku buka dompet dan mengisi 3205102110920006. Jalan Kemuning No. 5 Bandung. Tujuan Yogyakarta. KA Lodaya Pagi. 5 Juli 2011. Aku centang kotak Bisnis. Tanda tangan. Lalu aku mengantre menuju loket kasir. Pada hari itu antrean tidak panjang, aku hanya menunggu tiga orang antrean. Sesampainya di depan loket, aku langsung serahkan formulir tersebut.
"Aska Wira Ibrahim, Lodaya Pagi pukul 08.00, tanggal 5 Juli 2011, tujuan Stasiun Tugu Yogyakarta. Seratus sepuluh ribu rupiah", kasir di loket tersebut berbicara lantang dengan mikrofon yang ada di depan mulutnya.
Aku langsung memberikan uang dua lembar lima puluh ribu dan satu lembar uang sepuluh ribu. Tak lama kemudian tiket kereta diberikan kepadaku.
Seminggu kemudian setelah membeli tiket kereta, pukul 6 pagi aku sudah bersiap diri, termasuk mamah yang mau mengantarkanku ke Stasiun Bandung. Sesampainya di stasiun, aku berpamitan, mencium tangan mamah, dan melambaikan tangan menuju tempat pemeriksaan tiket.
Memasuki gerbong kereta, aku cukup deg-degan. Ini pertama kalinya aku naik kereta jarak jauh. Sembilan jam lebih menuju Yogyakarta. Aku pun belum tahu akan meginap di mana. Hanya berbekal informasi bahwa di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta banyak penginapan murah yang bisa aku tinggali sementara. Berbekal uang lima ratus ribu untuk menginap tiga hari di Jogja apakah cukup? Aku tidak tahu. Selama ini aku belum pernah melakukan tawar menawar jika bertransaksi sesuatu. Pasti menyerahkan mamah atau papah yang lebih jago. Ini pengalaman pertama, aku harus bisa.
Aku masih berada di atas kasurku, aku tersenyum sendiri ketika mengingat berhasil menawar penginapan dengan harga lima puluh ribu semalamnya. Apakah ini kemahalan atau kemurahan, aku tidak tahu. Kamarnya memang seadanya, kasur kecil, kipas angin, kamar mandi luar. Seperti kost-an. Tapi tak apa. Aku tiga hari di Jogja untuk melakukan daftar ulang saja, bukan untuk wisata. Saat menuju kampus pun dengan keberanian diri aku mencoba untuk menggunakan bis. Atas saran dari pemilik peginapan, aku disuruh jalan kaki menuju Jalan Mataram. Kemudian naik bis yang ke arah utara. Agak bingung ketika sang pemilik penginapan menyebutkan mata angin untuk menujukan arah. Beliau menunjuk Gunung Merapi dan bilang itu adalah arah utara. Aku paham. Aku naik bis tersebut membayarnya dengan uang pas sebesar empat ribu rupiah. Tak lupa aku menyebutkan tujuanku, yaitu Fakultas Teknik. Sang sopir berkata bahwa bis ini tidak melewati Fakultas Teknik, tapi akan menurunkanku di depan Fakultas Geografi dan aku bisa jalan kaki tidak terlalu jauh. Aku menuruti sarannya.
***
Di hari pendaftaran ulang, kami calon mahasiswa perencanaan wilayah dan kota dikumpulkan dalam empat barisan dan duduk secara lesehan. Semua mahasiwa berjaket coklat berdiri, melihat kami, ada yang tersenyum, ada pula yang terlihat jutek. Aku bergumam dalam hati, ya ampun kelakuan senior di setiap kampus sama saja. Sok-sok-an terlihat galak biar disegani oleh adik angkatan.
"Selamat datang di program studi perencanaan wilayah dan kota. Kalian adalah orang-orang terpilih yang akan berkontribusi di masa depan pada pembangunan wilayah dan kota di Indonesia!", teriak lantang lelaki berbaju coklat yang berbeda dari sebelumnya.
"Seperti yang kita ketahui, banyak wilayah dan kota di Indonesia yang tidak terencana dengan baik, dibuat asal-asalan, sehingga terjadi permasalahan di berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, lingkungan, kebencanaan, dan lainnya", tambahnya.
"Kita mahasiswa perencanaan wilayah dan kota dilahirkan untuk menjadi pemimpin dunia, mengomandoi perencanaan dan kemudian mengimplementasikannya. Saya ketua himpunan mahasiswa perencanaan wilayah dan kota mengajak teman-teman semua, mahasiswa baru untuk bersatu dalam pembangunan Indonesia. Jika saya mengucapkan PWK, jawab dengan lantang, PEMIMPIN DUNIA!", semangat mas ketua himpunan itu mengobarkan semangat para mahasiswa baru.
"PWK!", teriaknya lagi.
"PEMIMPIN DUNIA!", teriak mahasiswa baru.
"Kepalkan tangan dan angkat! PWK!", perintahnya.
"PEMIMPIN DUNIAAA!", jawab mahasiswa baru, termasuk aku yang bersemangat kembali menjadi mahasiswa baru.
Kemeriahan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari para senior dan jurusan lain dalam satu fakultas yang sedang melakukan pendaftaran ulang. Kemeriahan kami sebagai mahasiswa perencanaan wilayah dan kota tentunya tidak kalah dengan jurusan teknik lain. Apalagi dengan teknik mesin yang mayoritas laki-laki semua.
***
Di hari kedua, saatnya aku mencari kost-an. Informasi yang aku peroleh dari teman-teman satu jurusan tidak aku gunakan sama sekali. Mayoritas mereka kost di kawasan Pogung Baru. Sangat dekat dengan kampus dan dengan fasilitas yang bagus tapi sangat jauh dengan harga yang aku ekspektasikan. Tentu dengan berpindah kampus saja, aku sudah sangat merepotkan kedua orang tuaku, tentunya aku tidak mau menambah beban mereka akibat keinginanku kost di tempat yang cukup mahal.
Aku mencari kawasan lain. Aku coba jalan ke kawasan Klebengan, sebelah utara Fakultas Kehutanan. Memang cukup jauh ke Fakultas Teknik, tapi setidaknya di dekat situ ada stasiun sepeda kampus sehingga aku dapat menggunakan sepeda kampus untuk pergi kuliah. Setelah mencari-cari sekitar seharian, akhirnya aku mendapatkan kost dengan harga tiga juta setahun dengan fasilitas kasur, lemari, dan kamar mandi luar. Aku pikir itu cukup bagiku.
Setelah segala urusan selesai terpenuhi, keesokan harinya aku memutuskan untuk pulang ke Bandung. Uang jajanku pun akan segera habis, jangan sampai aku terjebak di Jogja. Aku tidak enak meminta uang lagi ke orang tua. Tanpa membelikan oleh-oleh untuk orang rumah, aku pun kembali ke Bandung.
***
Bulan berikutnya aku harus kembali ke Jogja untuk persiapan ospek. Ospek ini merupakan pengenalan mahasiswa baru kepada lingkungan kampus. Dalam hal ini ada di tingkat fakultas. Dalam satu kelompok aku bersama mahasiswa baru dari jurusan lain bersama-sama mengikuti kegiatan ospek. Tidak jauh berbeda ospek yang aku lakukan tahun sebelumnya saat di jurusan teknik mesin. Banyak tugas dan banyak atribut yang harus dipakai. Perbedaanya adalah di kampus ini cara mengerjakan tugas harus dipikirkan, lebih ke problem solving dan bagaimana caranya bekerja secara bersama-sama. Berbeda dengan kampusku sebelumnya yang tugasnya lebih ke arah keisengan para senior.
Selama lima hari aku ber-ospek-ria bersama teman-temanku. Kegiatan ospek dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore, namun setiap hari selalu ada tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Alhasil, setiap hari aku selalu pulang malam, paling lambat jam 12 malam. Lelah, sangat lelah sekali. Namun, ini konsekuensi atas keputusanku dan aku harus jalani ini sepenuhnya.
Memasuki hari kelima, merupakan hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan. Bahagia karena aku bisa melalui ospek ini dengan segala keterbatasan istirahat yang ada. Sedih tentunya karena berpisah dengan teman-teman karena Senin besok kami sudah memulai perkuliahan di jurusan masing-masing. Walaupun begitu tentu bukan menjadi halangan kami berkomunikasi. Pada saat itu sudah ada Facebook sebagai sosial media kami dalam bercengkrama. Belum ada grup Whatsapp seperti saat ini.
***
Aku bangun dari tempat tidur dan membawa binderku ke meja. Aku duduk di kursi dan aku buka lembaran pertama. Di kertas binder tersebut tertulis jadwal kuliahku dari hari Senin hingga Jumat. Masih terlihat jelas bahwa aku selalu menulis jadwal kuliahku di halaman pertama binder. Aku merasa dulu aku adalah orang terorganisir.
***
Aku bersiap untuk memasuki hari pertama kuliah. Jadwal kuliah sudah sudah aku tulis dengan rapi dan aku simpan di halaman pertama pada binder. Hal ini dilakukan agar aku tidak lupa. Binder adalah buku catatanku yang selalu aku bawa saat belajar. Pengaturan halaman yang sangat fleksibel membuat aku bisa menambahkan kertas sesuka hati tanpa ada kekhawatiran kehabisan halaman seperti di buku biasa.
Aku pun bukan tipe yang bisa langsung mencatat materi pelajatan di binder. Biasanya aku catat dulu di buku lain atau kertas bekas kemudian aku salin kembali ke binder dengan tulisan warna-warni. Aku memberikan garis vertikal yang membagi kertas halaman menjadi dua dengan proporsi 70:30. Area yang lebih luas digunakan untuk menulis materi inti kuliah sedangkan area yang lebih kecil digunakan untuk menulis catatan tambahan. Menurutku, metode seperti ini paling efektif dalam pembelajaran bagi orang-orang yang memiliki short term memory sepertiku. Menulis ulang membantuku mengingat kembali materi yang telah disampaikan. Penggunaan tinta yang kontras, ditambah dengan catatan berbentuk gambar, skema, atau tabel, membantuku mengingat materi lebih baik karena otakku merekam sesuatu yang khas secara visual.
Aku juga menargetkan indeks prestasiku di semester satu ini. Aku menargetkan memperoleh IP 3,60 sama seperti saat aku berkuliah di jurusan teknik mesin.
Mata kuliah yang aku terima di hari pertama adalah Proses Perencanaan.
"Aska Wira Ibrahim", sebut dosen sambil melihat selembar kertas yang berisi daftar mahasiswa.
"Saya!", jawabku lantang sambil mengangkat tangan.
Aku melihat teman-teman di sekitarku. Sangat serius dan terlihat sangat pintar. Agak pesimis bisa berprestasi dan bersinar di antara mereka. Tapi memang aku bukan orang yang ingin terlihat unggul di antara yang lain. Kegagalan masuk sekolah favorit mengajarkanku untuk ikhlas atas hasil, berjuang yang terbaik untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, dan tidak ngotot untuk jadi yang terbaik. Hanya menjadi diri sendiri sesuai kemampuan. Apabila kemampuan tersebut terasa bersinar oleh orang lain, aku tidak bangga, aku percaya itu karena hasil usahaku sendiri.
"Setiap perencanaan itu memiliki proses tergantung dari tujuannya. Misalnya tujuan menata ruang kota untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di dalamnya, tentu prosesnya akan berbeda jika tujuannya untuk meningkatkan tatanan ekologi", jelas sang dosen yang bernama Pak Djauhari.
Pak Djauhari merupakan profesor di bidang arsitektur dan perencanaan. Beliau berusia sekitar 50 tahunan. Lebih dari 25 tahun beliau mengabdi dan merupakan alumni dari kampus ini. Perawakannya besar dengan wajah yang bersahaja. Rambut-rambut putih sudah delapan puluh persen menghiasi kepalanya. Caranya beliau menjelaskan sungguh tenang. Sesekali beliau melihat ke para mahasiswa baru yang jumlahnya 70 orang. Beliau tidak menunjuk satu orang pun untuk bertanya. Semua mahasiswa pun konsentrasi ke arah layar yang memaparkan bahan presentasi sedangkan telinganya mendengar apa yang dijelaskan oleh Pak Djauhari.
"Dalam proses terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tentunya harus sesuai dengan tujuan dan manfaat yang akan diperoleh. Ada yang tahu perbedaan proses dengan prosedur?", tiba-tiba Pak Djauhari melemparkan pertanyaan.
Kelas hening. Anak-anak seakan berpikir. Aku pun berpikir. Tapi aku tidak tahu jawabannya.
Pak Djauhari kemudian menjelaskan, "Proses dan prosedur itu sangat sulit dibedakan, tapi kita dapat merasakan perbedaanya dalam penggunaannya".
Aku mulai menghela nafas. Otakku mulai merasa tidak sanggup menerima ilmu yang tidak pasti. Aku lebih baik dijejali kalkulus, fisika, dan kimia daripada ilmu dengan jawaban yang tidak ada kepastiannya. Tanganku yang mencoba merekam paparan di layar untuk ditulis di buku mulai bergetar. Isi catatanku kata-kata semua, tidak ada angka, simbol, ataupun. Terjadi penolakkan dalam diri. Tapi aku tahan, ini baru awal, baru pengenalan, wajar teks semua.
"Secara teori tidak ada proses atau prosedur yang baku. Praktiknya proses atau prosedur dibakukan agar terjamin kualitas hasilnya, serta memudahkan evaluasi formal. Setiap negara memiliki proses perencanaan yang berbeda tergantung pendekatan apa yang dilakukan", tambah Pak Djauhari.
Tidak ada yang baku? Aku bergumam dalam hati. Pelajaran apa yang aku terima ini? Tidak jelas sekali. Aku berusaha tenang dan menggenggam kepalan tangan.
"Namun, adanya variasi aliran pemikiran dalam pendekatan tersebut, yang kita sebut teori perencanaan. Ada yang berpikir bahwa proses perencanaan berlandaskan pada pemikiran yang rasional dan objektif. Di sisi lain, ada yang beranggapan bahwa proses perencanaan harus berlandaskan kesepakatan".
"Dalam khazanah teori atau konsep, banyak sekali pendekatan proses perencanaan yang berbeda satu dengan yang lain. Praktik di suatu negara, pemerintah atau pemimpin dapat memilih salah satu aliran dan menetapkannya sebagai proses yang baku dalam perencanaan. bisa juga pemerintah membebaskan pemangku kepentingan untuk memilih proses, asal saling sepakat".
"Kita bisa membagi jenis pendekatan perencanaan menjadi empat, yaitu master planning (perencanaan induk), comprehensive planning (perencanaan komprehensif atau menyeluruh), strategic planning (perencanaan strategis), dan participatory planning (perencanaan partisipatif).
"Perbedaan keempat ragam perencanaan tersebut dapat dilihat dari dominasi pengambil keputusan dan sistem politik yang berlaku", lanjut Pak Djauhari.
"Perencanaan induk atau dikenal dengan master planning merupakan konsep perencanaan yang mana pengambil keputusannya adalah raja atau penguasa. Raja atau penguasa dapat menentukan bentuk penataan kota sesuai dengan apa yang dia inginkan tentunya dibantu oleh seorang ahli di bidang perencanaan. Hal ini dikarenakan sistem politik yang dipegang adalah teokrasi. Raja atau penguasa berperan sebagai wakil Tuhansehingga berhak menentukan apapun . Bentuk master planning yang masih terlihat hingga saat ini seperti di Yogyakarta adalah kawasan Kraton yang dipengaruhi oleh keputusan sultan pada saat itu dan Kota Baru yang dipengaruhi oleh keputusan penjajah Belanda. Praktik master planning dalam perencanaan wilayah dan kota di Indonesia sudah berakhir hingga masa kolonial. Namun, praktik master planning hingga saat ini tidak sepenuhnya hilang. Pengembang-pengembang kawasan ataupun perumahan masih menerapkan konsep ini. Tapi memang perlu disesuaikan dengan perencanaan makro yang dibuat oleh pemerintah daerah yang dibuat dengan pendekatan perencanaan komprehensif. Hal ini juga yang membedakan skup antara arsitektur dan perencanaan. Arsitektur menerapkan konsep master planning dengan lingkup desain interior, bangunan, hingga kawasan sedangkan perencanaan menerapkan comprehensive planning dengan lingkup kawasan hingga wilayah", jelas Pak Djauhari.
Tulisan di kertasku mulai tak tentu arah. Catatanku hanya berisi paragraf, tidak ada ada gambar atau bagan yang dapat mempermudah aku belajar. Memang aku akan menulis ulang di binder tapi jika bentuk catatan seperti ini, aku harus ekstra keras berpikir mengubah paragraf ini menjadi sebuah bagan. Sepertinya akan sangat melelahkan.
Satu SKS pertama yang setara dengan lima puluh menit tatap muka telah terlewati. Mata kuliah proses perencanaan ini memiliki bobot dua SKS, artinya aku harus melalui lima puluh menit kedua sampai akhirya Pak Djauhari berhenti bicara dan menutup kelasnya. Terasa lama sekali untuk pelajaran yang terlalu banyak teori. Aku suka matematika, fisika, dan kimia. Apakah program studi ini mempelajari ilmu dasar tersebut. Apakah aku salah pilih jurusan? Aku harus menahannya.
Memasuki lima puluh menit kedua, Pak Djauhari mulai menjelaskan mengenai perencanaan komprehensif. Pada saat itu, jujur aku baru mendengar istilah komprehensif. Komprehensif dapat diartikan menyeluruh. Tapi menyeluruh apa yang dimaksud? Aku hanya bertanya dalam hati, hingga akhirnya Pak Djauhari menjelaskannya di slide berikutnya.
"Perencanaan komprehensif menggunakan pendekatan dengan memikirkan berbagai aspek secara lengkap dan menyeluruh. Dalam hal ini terdapat seorang perencana yang menjadi pemimpin dalam menerapkan proses tersebut. Sang leader mengomandoi seluruh tenaga ahli di berbagai bidang untuk menganalisis aspek-aspek dalam perencanaan yang secara umum dibagi atas tiga kelompok besar, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Tidak lupa melibatkan masyarakat atau perwakilannya untuk memberikan masukan terhadap perencanaan yang disusun. Perencanaan komprehensif ini tentu memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Hal ini dkarenakan berbagai hasil analisis dari berbagai aspek harus dirangkum menjadi suatu rencana untuh yang memberikan keuntungan bagi semua aspek, minimal tingkat kerugiannya rendah. Hasil perencanannya pun bersifat detil. Menurut Levy tahun 1997, dalam menggunakan pendekatan ini harus melalui tahapan berikut, yaitu melakukan analisis atau riset; memformulasikan tujuan perencanaan untuk masyarakat; memformulasikan perencanaan; mengimplementasikan perencanaan; serta meninjau ulang dan memperbaharui hasil implementasi. Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu tidak memerhatikan sumberdaya yang tersedia karena membutuhkan ahli yang cukup banyak dan mumpuni di bidangnya".
Wajah para mahasiswa mulai mengerut mendengar penjelasan Pak Djauhari. Meskipun pada umumnya mereka adalah anak-anak yang pintar dan berasal dari sekolah unggulan di berbagai daerah, tapi sepertinya beberapa ada yang kaget juga dengan sistem perkuliahan yang sangat berbeda dengan sistem pembelajaran di sekolah. Mengenai ha tersebut, aku tidak mengalami keterkejutan sama sekali. Hal yang membuatku shock culture hanya materi perkuliahannya yang agak kurang cocok denganku. Aku berupaya tetap mencatat slide dan apa yang dijelaskan oleh Pak Djauhari meskipun Pak Djauhari telah mengatakan bahwa bahan paparannya akan didistribusikan pada kami melalui ketua kelas.
"Yang keempat adalah perencanaan strategis. Pendekatan ini hanya berfokus pada isu strategis yang akan ditangani. Misalnya permasalahan banjir, maka aspek-aspek yang akan dianalisis adalah seluruh aspek yang berkaitan dengan banjir. Peran masyarakat sebagai pihak yang menerima manfaat dalam hal ini penangan banjir sangat diperlukan walau dalam prosesnya tetap diperlukan seorang ahli perencanaan sebagai fasilitator. Tidak seperti perencanaan induk yang mengasilkan suatu perencanaan fisik, perencanaan strategis ini bisa menghasilkan perencanaan sosial".
Kata-kata sosial membuatku tercengang. Selama bersekolah aku paling tidak suka ilmu sosial, apalagi sosiologi. Itu ilmu terabstrak yang pernah aku pelajari. Setiap ulangan tidak pernah aku mendapatkan nilai di atas delapan puluh. Jawaban yang aku anggap benar tidak pernah sesuai dengan teori. Aku pun tidak pernah memikirkan apakah rasa sosialku rendah atau tidak, namanya anak sekolah masih bersikeras dengan pendapatnya. Ketidaksukaanku pada ilmu sosial membuatku untuk masuk ke kelas IPA saat memasuki kelas XI. Pada saat naik kelas XI, aku berhasil masuk kelas IPA dan meninggalkan pelajaran sosiologi dan ekonomi yang tidak aku sukai.
"Perencanaan strategis ini sangat memerhatikan sumberdaya yang ada karena memang terfokus pada isu-isu yang dipilih. Pendekatan yang terakhir adalah paticipatory planning atau perencanaan partisipatif. Pendekatan ini sepenuhnya diserahkan kepada masayarakat, ahli perencanaan hanya sebagai fasilitator saja. Permasalahan yang akan diselesaikan, tingkat kedalaman analisis, formulasi perencanaan, hingga implementasinya semuanya diserahkan kepada masyarakat selaku penerima manfaat", sambung Pak Djauhari.
"Apakah ada pertanyaan?", tanya Pak Djauhari.
Aku melirik keadaan sekitar, sepertinya tidak ada yang bertanya sama sekali. Apakah aku akan bertanya? Tentu saja tidak, aku adalah orang yang tidak kritis. Mungkin pertanyaan akan terlintas dalam pikiranku setelah sesampai di kost dan menyalin ulang catatan ini.
"Sepertinya tidak ada, baiklah untuk perkuliahan hari pertama ini, kita cukupkan saja. Terima kasih atas perhatian semuanya. Saya pamit", tutup Pak Djauhari.
"Terima kasih Pak", serentak kami semua mengucapkan terima kasih setelah kelas berakhir.
***
Dari delapan mata kuliah yang wajib diambil oleh mahasiswa baru, hanya satu yang paling aku suka, yaitu Studio Analisis Kawasan. Karena jumlah SKS-nya paling banyak, maka dalam satu minggu kelas studio terdapat dua kali pertemuan. Dalam kelas studio ini kami satu angkatan dibagi menjadi sepuluh kelompok dan duduk sesuai kelompoknya. Ruangan studio yang luas diberi sekat menjadi sepuluh bagian di setiap sisinya sebagai ruang kerja setiap kelompok. Di bagian tengah studio dibuat area terbuka untuk berkumpul seluruh mahasiswa bila dosen pengampu memberikan materi.
Kelas studio ini sama halnya dengan kelas praktikum. Pada kelas ini kami mengaplikasikan seluruh materi yang telah diberikan dalam kelas. Sesuai nama mata kuliahnya pada semester satu ini adalah Studio Analisis Kawasan, maka kami diberikan tugas untuk menganalisis kawasan. Pak Warno selaku dosen pengampu mata kuliah menyampaikan bahwa kawasan untuk dianalisis adalah kawasan Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. Dari satu kecamatan tersebut, dibagi menjadi sepuluh kawasan untuk masing-masing kelompok studio. Pembagiannya dilakukan secara adil berdasarkan batas fisik kawasan tersebut, yaitu sungai dan jalan.
Aku sangat bersyukur mendapatkan anggota kelompok yang seru. Tidak ada satupun yang mendominasi dalam berpendapat. Semuanya punya peran yang sama. Tapi memang perlu ada satu orang yang menadi ketua kelompok. Dipilihlah Ardo sebagai ketua kelompok karena dari sisi umur dia yang lebih tua. Karena kami semua baru masuk dan saling mengenal, tentunya usia menjadi alasan termudah dalam menentukan ketua kelompok. Tidak hanya bisa jadi teman berdiskusi, teman satu kelompokku ini juga menjadi teman bermain, teman makan, dan teman jalan-jalan yang asyik. Hal ini juga yang membuat kelas studio merupakan kelas favorit yang membuat aku masih kuat menghadapi perkuliahan di semester satu ini.
***
Di bagian bawah meja kerja terdapat laci yang pegangannya tinggal separuh. Aku heran mengapa pegangan laci ini tinggal separuh, mungkin terbentur atau terjatuh. Ku buka laci tersebut dan aku menemukan setumpuk tiket kereta jarak jauh yang berwarna mera kecoklatan. Tulisan pada tiket itu sudah mulai pudar, tapi aku bisa melihat tahun pada tiket tersebut, 2011 dan 2012. Sudah lama sekali. Tertulis kereta Kahuripan, Lempuyangan - Padalarang, dua puluh enam ribu rupiah. Aku inget sekali bagaimana di tahun pertama kuliah, selalu pulang ke Bandung setiap dua minggu sekali, naik kereta ekonomi yang menggunakan kipas angin, selama 10 jam. Tidak hanya itu, masih ada penjual yang berjualan barang apapun dan setiap lima menit sekali melintasi gerbong.
Sebelum tahun 2013, kondisi kereta kelas ekonomi memang sungguh memprihatinkan. Kahuripan merupakan kereta jarak jauh dengan relasi Kediri - Padalarang dan sebaliknya. Jarak Kediri - Padalarang tentu bukan sejengkal, butuh waktu sekitar lima belas jam perjalanan. Sepertinya memang orang berpenghasilan menengah ke bawah yang menjadi penumpang. Tentunya saja dengan harga tiket kurang dari tiga puluh ribu rupiah dapat berpergian lintas provinsi. Para penumpang yang berpenampilan lusuh karena sepanjang perjalan tidur dalam keadaan duduk dan berdempetan dengan penumpang lainnya. Sisi kanan terdapat kursi panjang dengan kapasitas tiga penumpang dan sisi kiri kursi dengan kapasitas dua penumpang. Selain itu setiap sisi kursinya berhadapan yang membuat antar penumpang saling berhadapan. Sirkulasi udara hanya digerakan oleh kipas angin yang ditempel di langit-langi gerbong. Bergerak berputar menghembuskan angin ke penjuru gerbong. Setiap gerbong memiliki tiga buah kipas angin. Tak ayal ada penumpang yang tidak mendapatkan kursi dan rela membeli tiket tanpa tempat duduk. Mereka berdiri di antara kursi atau tidur di bordes sehingga menghalangi pintu toilet atau pintu keluar kereta. Selain itu, setiap lima menit sekali selalu ada pedagang yang berjualan menawarkan berbagai barang baik yang berfaedah maupun tidak ke setiap penumpang. Pedagang itu tidak hanya satu, tetapi banyak. Bisa naik turun di setiap stasiun sesuka hati. Beberapa penumpang sering merasa terganggu atas suara berisik yang dikumandankan para pedangang tersebut, tapi para penumpang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya memejamkan mata, berharap segera sampai di tempat tujuan.
***
"Mah, Aska mau pulang Jumat besok", aku berdiri sambil memegang telepon genggam.
"Kok suaramu sendu? Ada masalah? Kembali lagi ke Jogja kapan?", tanya mamah di seberang sana.
"Capek mah, mau pulang dulu ke rumah. Pulang Minggu malam supaya sampainya Senin pagi karena jam 9 pagi ada kuliah", jawabku.
"Ya sudah, mamah tunggu ya, jangan lupa beli tiket kereta", kata mamah.
"Iya mah, nanti sore mau ke stasiun untuk beli tiket", jawabku kemudian menutup telepon.
Sudah satu bulan selama aku di Jogja, aku selalu pulang ke Bandung tiap dua minggu sekali. Kebetulan aku baru mendapatkan informasi kalau ada kereta ekonomi ke Bandung dengan harga dua puluh empat ribu rupiah. Bukan hanya setiap dua minggu, bahkan seminggu sekali pun tidak akan mengurangi jatah uang jajanku. Kondisi kereta kelas ekonomi yang seadanya tidak membuat aku berpikir ulang untuk pulang ke Bandung. Sejujurnya aku lelah mengikuti perkuliahan di semester satu karena ada sesuatu penolakan yang membuat aku malas berkuliah. Jogja yang berhati nyaman memang membuat aku jatuh hati untuk tinggal lama di sana, tapi perkuliahan ini membuat kenyamananku itu berkurang. Setiap habis kuliah aku menjadi mahasiswa kupu-kupu, yaitu kuliah-pulang kuliah-pulang. Tujuannya agar aku bisa fokus pada studiku, mempelajari apa yang sudah dijelaskan oleh dosen, tetapi setiap ku berusaha mempelajarinya aku merasa ilmu ini terlalu abstrak. Otakku tidak bisa menyerapnya. Hingga akhirnya ada pemikiran untuk mengikuti SNMPTN kembali di kesempatan terakhirku ini. Mungkin aku mengambil kedokteran atau kembali ke teknik mesin yang sempat aku pelajari.
Kebimbangan tersebut membuatku hanya berbaring di atas kasur. Melihat langit-langit kosan yang dicat biru sama seperti dindingnya. Apakah aku bisa bertahan dan mendapatkan gelar sarjana teknik. Aku ingat kembali saat memilih program studi ini. Ini adalah keputusanku sendiri tanpa ada campur tangan dari kedua orang tuaku. Orang tuaku pun sepenuhnya menyerahkan keputusan tersebut padaku dan bersedia membayar uang kuliahku. Setidaknya dengan rajin pulang ke rumah, aku bisa melihat kedua orang tuaku yang bangga atas pencapaianku diterima di kampus ini. Aku tidak boleh menyerah dan terus berusaha.
***
Tujuh hari minggu tenang telah aku lalui. Aku memilih seminggu berada di Bandung untuk mempersiapkan UAS semester satu ini. Tentu saja selama minggu tenang, aku lebih banyak bermain dan bertemu teman-teman sekolahku dulu dibandingkan dengan belajar. Akupun memaksimalkan minggu tenang dengan pulang di hari Sabtu malam dan sampai di hari Minggu pagi. Masih ada cukup waktu untuk belajar dan beristirahat hingga Senin tiba, hari pertama UAS berlangsung.
Senin pagi aku sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Aku sudah memeriksa kartu ujian, pulpen, dan tip-X sebagai alat perangku. Sesampainya di ruang ujian, aku mencari nomor kursi dan duduk sesuai dengan nomor yang tertera pada kartu ujian. Kertas jawaban mulai dibagikan. Kertas jawaban merupakan kertas folio bergaris sebanyak dua lembar atau empat sisi untuk mengisi jawaban. Para peserta ujian kemudian dipersilahkan mengisi identitas diri di pojok kiri atas lembar ujian. Nama, nomor induk mahasiswa, mata kuliah, hari dan tanggal, serta tanda tangan. Aku mengisinya dengan pulpen hitam yang aku bawa. Kemudian pengawas ujian yang merupakan petugas administrasi akademik membagikan satu lembar kertas A4 yang merupakan soal ujian ke masing-masing peserta. Setelah semuanya terbagikan, pengawas mengumumkan bahwa waktu ujian dimulai, para peserta dipersilahkan membuka lembar soal dan mulai menjawab soal-soal pada lembar yang tersedia.
Ujian di setiap mata kuliah tipe soalnya sama, yaitu jelaskan dan sebutkan. Semua soalnya merupakan soal esai dan ujiannya tutup buka. Aku yang mudah lupa dan malas belajar tentu saja agak kesulitan menjawabnya. Aku mencoba menjawab sesuai dengan logika saja. Alhasil jawabanku hanya satu atau dua kalimat saja. Pada tiga puluh menin terakhir aku sudah menyelesaikan semua soal tersebut. Tentu aku percaya diri dengan jawabanku. Tapi kepercayaan diri itu langsung musnah ketika temanku mengangkat tangan dan meminta lembar jawaban tambahan. Semua peserta ujian melihatnya. Kuintip lembar jawabannya yang hanya berselang dua meja dari mejaku, isinya penuh berisi tulisan. Tidak habis pikir, dia membuat novel atau apa. Bahkan empat halaman folio besar bergaris tidak mampu menampung semua jawabannya yang membuat dia harus menambah kertas ujian lagi. Kemudian beberapa orang menyusulnya meminta kertas ujian tambahan. Aku melihat kertas ujianku yang hanya menghabiskan dua halaman kertas folio bergaris itu. Pikiranku sudah buntu, aku tidak punya ide lagi untuk menulis apa. Waktu tinggal sisa lima menit, apakah aku harus menceritakan latar belakang keluargaku hingga akhirnya aku bisa berkuliah di Jogja untuk menyaingi temanku yang lembar jawaban ujiannya sangat penuh?
Waktu habis, para peserta tidak boleh mengisi lembar ujian lagi. Satu persatu lembar jawaban diestafetkan ke depan. Tiga lembar jawaban milik tiga peserta di belakangku semuanya penuh dengan tulisan yang membuat kertas folio itu tidak dapat tegak jika dipegang satu sisi, dia akan jatuh lembek ke bawah karena setiap kertasnya digoresi oleh tulisan. Aku terkaget-kaget dengan cara teman-temanku mengisi jawaban. Apa yang mereka tulis? Tapi aku tetap percaya diri dan yakin aku bisa mencapai indeks prestasi yang aku targetkan.
***
Setelah melalui serangkaian ujian. Saatnya libur semester. Selama satu bulan aku bisa pulang ke Bandung. Tentu saja aku langsung membeli tiket kereta dan menyiapkan barang-barang untuk dibawa pulang. Saat itu aku pulang bersama teman sekelasku bernama Andi. Kami sepakat untuk kembali ke Jogja bersama dengan nomor kursi yang bersebelahan agar ada teman ngobrol dan bisa saling bergantian saat tidur untuk menjaga barang bawaan kami. Sesampainya di Bandung kami berpisah di stasiun. Andi dijemput oleh ayahnya sedangkan aku dijemput oleh kakakku. Selama satu bulan ini aku akan menikmati hari liburku sambil menunggu IP semester 1 ku keluar.
Di minggu kedua libur semester, grup angkatanku di Facebook mulai ramai. Ternyata Fanny, anak yang rajin membuka portal akademik untuk mengecek nilai yang keluar. Setiap hari satu demi satu nilai mata kuliah mulai keluar dan diawal minggu ketiga akhirnya indeks prestasi anak-anak muncul. Wajah murungku tidak tertahan lagi, targetku tidak tercapai. Nilai B mendominasi portal akademikku dibanding dengan nilai A. Aku merasa bisa mengerjakan tapi mengapa hasilnya tidak memuaskan. Aku sungguh kecewa. Aku hanya mendapatkan IP sebesar 3,3. Keinginanku untuk mencoba SNMPTN kembali semakin besar tapi aku masih ada semester dua yang harus dihadapi. Apakah aku akan asal-asalan menghadapi semester dua atau aku akan berusaha memperbaiki ini semua?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar