Seringkali kita dengar bahwa pemerintah terus mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang menggunakan energi listrik. Dorongan tersebut memang baru terasa pada kendaraan dinas bagi pemerintah saja. Tapi secara perlahan, masyarakat juga didorong untuk membeli kendaraan listrik. Hal ini sejalan dengan pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM naik. Aku merasa banyak hal yang janggal karena tujuan mendorong penggunaan listrik sendiri tidak jelas. Apabila tujuannya untuk perbaikan lingkungan hidup dan mengurangi efek gas rumah kaca, seharusnya diawali dengan perbaikan infrastruktur terlebih dahulu. Menurutku, penyumbang gas rumah kaca terbesar dari mobilitas masyarakat yang banyak menggunakan kendaraan pribadi, ya seharusnya transportasi publik diperbaiki, hingga penggunaan kendaraan pribadi dapat dikurangi. Hal yang paling sulit adalah ketika masyarakat harus mengkonversi kendaraannya dengan biaya sendiri. Kendaraan listrik sendiri bisa dibilang masih mahal, mengingat komponen baterai yang harus memenuhi aspek kecukupan layaknya kendaraan dengan BBM. Infrastruktur pengisian daya juga masih sangat minim. Bahkan untuk mengisi daya di rumah saja, perlu upgrade komponen listrik rumah tangga. Hal ini tentunya malah menjadikan beban bagi masyarakat.
Hal yang membuat kontradiktif adalah kebijakan insentif Pajak Penjualan Barang Mewah yang ditanggung pemerintah. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan penjualan kendaraan mewah yang sudah diproduksi namun penjualannya menurun akibat pandemi Covid-19. Insentif ini membuat harga barang mewah menjadi lebih murah. Barang mewah yang dimaksud termasuk juga kendaraan bermotor. Barang mewah ini memang dijual kepada masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Tujuannya adalah untuk memperbaiki perekonomian di sektor industri otomotif. Namun, jika dikaitkan dengan elektrifikasi kendaraan yang digaungkan, sangat bertolak belakang karena kendaraan mewah yang dijual masih berbahan bakar BBM. Insentif tersebut masih berlaku hingga saat ini. Menurutku ini lucu juga semangat elektrifikasi dan cinta lingkungan tidak hadir di sini. Ya meskipun, jika penjualan kendaraan berbasis BBM dihentikan, maka perusahaan akan mengalami kerugian juga. Ini bisa menjadi bom waktu juga bagi masyarakat karena suatu saat kendaraan berbasis BBM tidak akan dapat digunakan kembali dan memaksa masyarakat untuk memiliki kendaraan bertenaga listrik.
Elektrifikasi ini muncul karena PLN mengalami oversupply listrik. PLN mengalami kerugian yang sangat besar karena listrik yang diproduksi tidak terpakai. Kata temanku yang pernah bekerja di perusahaan pembangkit listrik, listrik itu kalau tidak terpakai ya akan lenyap begitu saja. Artinya, banyak sekali listrik yang lenyap begitu saja tidak termanfaatkan oleh masyarakat. Oversupply itu hanya terjadi di Jawa - Bali saja. Selain kendaraan listrik, penggunaan kompor listrik juga merupakan upaya memaksa untuk mengatasi oversupply tersebut. Masyarakat berpenghasilan rendah akan mulai dibagikan kompor listrik sebagai pengganti kompor gas. Gas LPG 3 kilogram sendiri masih mendapat subsidi dari pemerintah yang membebani APBN. Padahal kita tahu sendiri, masyarakat berpenghasilan rendah biasanya merupakan pengguna listrik dengan daya 450 watt sedangkan kompor listrik sendiri umumnya memerlukan daya 1.000 watt. Pemerintah maupun PLN terus meyakinkan bahwa tidak perlu peningkatan daya dan tidak ada peningkatan tarif, serta meyakinkan bahwa kompor listrik jauh lebih hemat dibandingkan kompor gas.
Aku sempat bertanya-tanya, konversi ini tujuannya apa? Untuk mengurangi kerugian PLN, mengurangi beban APBN, atau lingkungan hidup? Selalu ada kata-kata membebani APBN dan memperbaiki lingkungan di setiap pemberitaan di media. Menurutku yang tanpa perhitungan, apabila oversupply, ya kurangilah harga tarif listrik untuk rumah tangga. Agar masyarakat di Jawa - Bali bisa lebih boros dalam menggunakan listrik. Alhasil oversupply bisa ditangani. Konversi kendaraan bermotor dan kompor bukan ide yang buruk, tapi terkesan dipaksakan. Menurutku, perlu ada kesiapan yang lebih matang sebelum melakukan konversi dua barang tersebut khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Terutama untuk peralatan listrik, jaringan listrik perlu diperbaiki. Kita selalu mendengar masalah korsleting listrik di rumah padat penduduk yang memang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah juga harus mulai tegas menghentikan produk berbasis BBM dan mendorong produsen untuk memproduksi barang-barang elektronik.
Satu hal lagi mengenai lingkungan hidup. Benar sekali jika listrik itu lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM atau LPG. Tapi sayangnya, sumber energi listrik di Indonesia utamanya bersumber dari batu bara. Otomatis, sama saja menghasilkan gas buang yang merupakan gas rumah kaca. Memang perlu perubahan dari bahan energi pembuat listriknya dahulu. kadang miris juga ketika Jawa - Bali mengalami kelebihan listrik sedangkan wilayah lain di Indonesia masih banyak yang belum dapat menikmati listrik, bahkan sering mengalami pemadaman bergilir. Banyak sekali pekerjaan rumah yang perlu dilakukan oleh negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar