Rabu, 28 Desember 2022

Culture Shock Tinggal di Jakarta



Sekitar beberapa bulan yang lalu, saat sedang dilanda kegabutan, aku lihat-lihat reels Instagram. Muncullah video mengenai pembahasan culture shock saat pertama kali tinggal di Jakarta. Reels tersebut diposting oleh akun love_jkt. Dalam video tersebut, terdapat tiga hal yang membuat culture shock saat pertama kali tinggal di Jakarta, yaitu mie ayam yang dijual pagi-pagi untuk sarapan, soto yang dijual malam hari, dan harus bilang teh manis jika mau pesan teh dengan rasa manis.

Aku sendiri pertama tinggal di Jakarta itu di April 2016, pada saat itu aku masih bekerja dan tinggal di Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Jujurly, aku senang sekali mengikuti environment pekerja-pekerja kantoran di Jakarta.   Ditambah lagi, Jakarta termasuk daerah dengan transportasi publik terbaik di antara daerah lain di Indonesia. Suasana kesibukan meskipun harus dempet-dempetan dan penuh emosi, tapi aku suka sekali seperti berada di kota-kota besar di luar negeri.

Aku pengguna publik transport di Jakarta hingga April 2019. Setelah itu aku memutuskan untuk membawa sepeda motor dikarenakan kantorku tidak terakses oleh transportasi publik. Sebagaimana orang daerah pada umumnya, aku menggunakan motor dengan plat nomor Bandung karena aku belum merasa terlalu penting untuk pindah kependudukan. Saat menggunakan kendaraan pribadi inilah, aku merasa benar-benar shock dengan perilaku berkendara di Jakarta. Aku pernah tinggal di Bandung dan Jogja, serta pernah mengunjungi beberapa kota lainnya, tapi di Jakarta ini yang bikin aku benar-benar kaget. Selama aku tinggal di Jakarta aku kurang sadar mengenai perilaku berkendara karena aku selalu berada di dalam transportasi publik dan lebih senang mengamati fasad bangunan, fungsi lahan, fasilitas publik, dan jalur-jalur transportasi. Aku jarang sekali mengamati perilaku berkendara orang-orang yang menjadi penyebab kemacetan.


Aku menyampaikan culture shock tersebut pada kolom komentar reels yang aku lihat tersebut. Kaget tapi tidak aneh, ya karena ini Jakarta. Kota dengan segerobak penduduk dari mana-mana dengan tingkat awareness yang berbeda-beda, khususnya dalam keselamatan berkendara. Pendapatku ini bukan berarti tidak terjadi di luar Jakarta. Oh ya, maksud Jakarta di sini bukan berarti Jakarta secara administratif ya, tapi Metropolitan Jakarta atau yang kita tahu Jabodetabek, biar singkat aku sebut Jakarta aja ya.

Mlipir atau melawan arus di tepi jalan sebenarnya bukan fenomena yang aneh di seluruh Indonesia. Akupun tidak memungkiri bahwa aku pernah melakukannya juga. Berdasarkan hasil pengamatanku di daerah lain, mlipir itu biasanya dalam jarak yang dekat, entah karena kebablasan (kelewatan) atau nanggung putar balik kejauhan. Biasanya orang yang mlipir itu di saat kondisi arus lalu lintas yang sebenarnya itu dalam kondisi lengang. Tapi kalau di Jakarta, mlipir pada jarak yang cukup panjang, kecepatan yang cukup tinggi, bahkan dengan pede dilakukan pada kondisi arus yang sebenarnya sedang dalam keadaan padat atau macet. Orang yang melakukan mlipir itu tidak gentar sama sekali meskipun dia salah. Tidak hanya mlipir, memotong jalan juga sering aku temui. Memotong jalan ini termasuk putar balik tidak pada tempatnya, menyebrang jalan melewati separator, dan menyeberang jalan antar gang (jalan kecil) melewati jalan besar. Hal simpel lainnya yang sering dilanggar adalah berhenti melewati garis stop pada lampu lalu lintas dan jalan sebelum lampu berwarna hijau. Parahnya lagi, melewati pintu kereta api yang sudah tertutup. Seringkali mereka abai atas keselamatan diri sendiri.


Komentarku ini direspons oleh komentator lainnya. Komentar tersebut aku amini karena memang di daerah terasa jauh lebih tertib dibandingkan di Jakarta sebagai kota metropolitan yang sebenarnya peradabannya jauh lebih maju. Ada juga peneliti yang menyatakan bahwa Jakarta merupakan kota dualism yang mana perilaku masyarakatnya masih non-urban.

Namun setelah itu, terdapat komentar yang bernada rasisme. Dia ingin menegaskan pelaku pelanggar lalu lintas itu orang betawi atau non-betawi. Padahal perlu diketahui bahwa yang namanya penduduk Jakarta adalah orang-orang yang beraktivitas di dalamnya, apapun sukunya. Sebagai kota multikultural, sangat sulit mendifinisikan pelanggar lalu lintas berdasarkan suku.

Lalu, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mengapa di daerah bisa lebih tertib sedangkan di Jakarta jauh lebih semrawut. Menurut pendapatku pribadi, ketertiban di daerah lebih terjaga karena ada 3 hal. Pertama, jalanan di daerah itu lebih fleksibel, tidak terlalu banyak separator jalan dan jalan satu arah. Hal ini membuat kemudahan untuk tidak mlipir dan putar balik. Kedua, kondisi lalu lintasnya pun tidak terlalu ramai dan jarang sekali macet. Ketiga, cenderung monokultur. Hal tersebut membuat sesama mereka saling menghargai dan tidak mau membuat kerugian. Berbeda dengan Jakarta yang sistem lalu lintasnya cenderung kaku, banyak jalan satu arah dan banyak jalan yang memiliki separator. Ditambah lagi, tempat putar balik cenderung jauh. Arus kendaraan yang padat dan seringkali macet, membuat banyak orang melakukan pelanggaran untuk mencari jalan pintas. Meskipun seringkali jalan pintas yang dilakukan malah menambah kemacetan. Dari sisi sosial budaya kemungkinan karena di Jakarta itu multikultur, banyak budaya. Cenderung egois. Ya egois, bukan individualis. Mereka egois tanpa mementingkan orang lain tanpa memikirkan kerugian yang akan ditimbulkan atas kesalahan mereka. Berbeda dengan individualis yang memerdekakan diri sendiri namun memahami individu lain sebagai orang yang merdeka pula. Simpelnya adalah kita bebas menggunakan jalan umum namun memikirkan pengguna jalan lainnya, jangan sampai egois dalam menggunakannya.

Awalnya, aku merasa seharusnya desain ruang bisa mengatur masyarakat. Ketika rambu lalu lintas dibuat, separator jalan dibuat, dan lainnya seharusnya dapat mengatur atau mengkondisikan perilaku masyarakat untuk menjadi lebih tertib. Tapi, ini tidak berlaku di Jakarta. Masyarakat cenderung melanggar dan memilih jalan pintas yang dirasa lebih mudah. Hal ini juga menjadi kesalahan jariyah, ketika satu pelanggar diikuti oleh orang lain, sehingga jadi banyak sekali pelanggar. Namun, pemikiranku berubah, mungkin ada yang salah dengan desain ruang tersebut. Ada yang salah dengan aturan yang dibuat. Aturan tersebut malah lebih menyulitkan masyarakat sehingga terpaksa mereka semua melanggar. Mungkin inilah yang dinamakan aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Senin, 19 Desember 2022

Kemarin Kompor Listrik sekarang Kendaraan Listrik



Setelah aku nyinyir terkait rencana kebijakan konversi kompor listrik yang sangat tidak konsisten dan hanya membebani masyarakat, hingga akhirnya kebijakan konversi tersebut meredup dan batal. Sekarang, muncul lagi kebijakan aneh dan membuat aku semakin yakin bahwa negara ini benar-benar tidak konsisten.

Mari kita mulai dengan kondisi kawasan perkotaan di Indonesia. Utamanya adalah kota-kota besar. Pasti teman-teman juga sangat mengerti bahwa mayoritas kondisi perkotaan di Indonesia mengalami kemacetan. Teman-teman juga pasti paham apa solusi dari penanggulangan masalah kemacetan. Namun, apa yang teman-teman pikirkan ketika ada kebijakan pemberian subsidi untuk membeli kendaraan listik?


Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat ini membuat aku cukup geleng-geleng. Ya memang benar, kebijakan ini dapat mengungkit perekonomian karena meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli kendaraan listrik tersebut. Namun, paham gak sih dampak ke depannya? Kalau terus diberi kemudahan untuk membeli kendaraan pribadi tentunya kemacetan tidak akan pernah teratasi. Nanti yang disalahin masyarakat lagi, kenapa beli? Nanti yang disalahin pemerintah daerah karena tidak mampu menyediakan jalan yang cukup dan transportasi yang memadai. Padahal kebijakan itu dari pemerintah pusat.



Menurutku, kebijakan subsidi ini bisa diberikan pada hal yang lebih tepat sasaran. Semisal penyediaan transportasi publik berenergi listrik. Iya kalau transportasi publik berbasis rel sangat sulit direlaisasikan karena biaya konstruksi yang mahal dan penyediaan lahan yang sulit, minimal dengan bis listrik. Pemerintah bisa mendorong industri otomotif untuk memproduksi bis listrik atau sepeda listrik. Subsidi bisa diberikan kepada BUMN, BUMD, private sector, atau pemerintah daerah yang mau membeli kendaraan listrik dalam memenuhi kebutuhan transportasi publik. Biarlah kendaraan listrik tanpa subsidi untuk pasar masyarakat kelas atas saja, jika mampu. Bukankah semakin maju suatu negara adalah yang menggunakan transportasi publik, bukan kendaraan pribadi?


Aku bukan tidak setuju dengan penerapan tilang elektronik, tapi satu hal yang ingin aku tanyakan adalah, tilang elektronik ini buat apa? Tilang elektronik ini lebih tepatnya sebagai alat pencari duit. Pemerintah yang terus mendorong kepemilikan kendaraan pribadi tentunya sejalan dengan peningkatan jumlah pelanggaran. Tilang elektronik ini seperti hantu, kadang terlihat kadang tidak, dan hanya menakut-nakuti warga supaya tidak melanggar lalu lintas. Jika apes terkena tilang, ya tilang elektronik ini jadi alat pencetak duit. Tapi, apakah tilang elektronik ini efektif? Tujuannya apa? Ya kalau tujuannya untuk meminimalisir pelanggaran, ya harusnya paham sama proses hilirisasi. Jangan mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi. Sediakanlah transportasi publik, alhasil pelanggaran semakin minim. Tapi ya kalo tujuannya nyari duit dari pelanggaran masyarakat, ya bisa jadi tepat penerapan tilang elektronik ini.



Lucunya lagi, tak lama setelah berita terkait subsidi kendaraan listrik, ada wacana terkait kenaikan tarif KRL. Loh? Loh? Loh? Ini benar-benar sangat bertolak belakang banget. Di saat yang masyarakat butuhkan adalah kendaraan publik, ini malah mau dinaikkan tarifnya. Ini sebenarnya pemerintah mau dukung ya mana sih? Pengguna transportasi publik yang banyak digunakan berbagai kelompok masyarakat atau pengguna kendaraan listrik yang mayoritas masyarakat atas. ini malah semakin mempersulit masyarakat enggak sih?


Terakhir, satu hal yang paling lucu. Ada kota yang memperoleh tata kota terbaik di saat wilayahnya banyak yang tergenang banjir. Aku yang puluhan tahun tinggal di Bandung dan sudah belajar ilmu tata kota, sungguh bingung terbaiknya di mana. Ya tata kota terbaik enggak harus jalannya lurus dan kotak-kotak, guna lahannya seperti donat berlapis rapi kaya teorinya Von Thunen. Setidaknya, kalau hujan lebat yang gak banjir, Kalopun tergenang pun enggak lama, paling buruk kalau banjir ya masyarakatnya tanggung dalam menghadapi bencana. Kenyataannya boro-boro tangguh, yang ada banyak kerugian materi bahkan iiwa. 

Inti dari kenyinyiran hari ini adalah sinkronkanlah antara kebijakan di pusat dan di daerah. Jangan hanya keinginan pusat untuk  meningkatkan sektor otomotif tapi lupa dampaknya di daerah dan lepas tangan sama dampak kemacetan. Sinkronkanlah kebijakan masing-masing instansi. Jangan hanya keinginan instansi untuk meningkatkan sektor otomotif tapi malah bikin instansi lain harus naikin harga transportasi publik.

Senin, 12 Desember 2022

Pernyataan Kontroversial Pimpinan Daerah Penghasil Minyak



Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Anggaran Daerah yang dilaksanakan di Pekanbaru pada Kamis, 8 Desember 2022 lalu, sungguh membuatku terkaget-kaget saat menontonnya dalam kanal Youtube Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah. Pasalnya pernyataan Bupati Kepulauan Meranti sangat kontroversial. Ternyata itupun menjadi bahan berita di berbagai kanal media.

Awalnya, Rakornas berjalan dengan baik-baik saja. Kegiatan diawali dengan laporan panitia pelaksanaan yang disampaikan oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Riau, kemudian Sambutan dan Pengarahan yang disampaikan oleh Gubernur Riau, selanjutnya penyampaian keynote speech oleh Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Ekonomi dan Pembangunan. Setelah itu masuklah pada pemaparan materi yang dimoderatori oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Pemateri pada saat itu antara lain Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Wakil Ketua Asosiasi Pengelola Pendapatan Daerah Indonesia, dan Deputi Kepa Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.

Awalnya diskusi berjalan dengan tenang. Pertanyaan pertama memang sudah mempertanyakan mengenai transparansi Kementerian Keuangan dalam mengelola Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA). Menurut beberapa Pemda di Riau, DJPK tidak pernah transparan mengenai formulasi pembagian DBH SDA, padahal keuntungan SDA dari Riau itu sangat besar. Pada bagian ini, akupun sepakat dengan Pemda karena seringkali aku mencoba bertanya mengenai formulasi dana perimbangan, DJPK selalu berdalih tiap tahun berbeda, tiap daerah berbeda, dan untuk mengetahuinya perlu proses administrasi yang cukup rumit. Pak Dirjen Perimbangan Keuangan menjelaskan bahwa formulasi pembagian DBH SDA itu sudah sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat Daerah yang mana pembagiannya tidak hanya dibagi ke daerah penghasil tapi dibagikan pula ke daerah yang di sekitarnya sebagai fungsi pemerataan. Pada hal ini juga aku sepakat dengan Pak Dirjen karena tentunya aktivitas eksplorasi pertambangan dan perminyakan itu akan memberikan dampak pada wilayah sekitarnya, baik hal lingkungan maupun sosial. Prinsip keadilan muncul di sini, tapi memang perlu ditekankan adalah transparansi formulasi khususnya bagi daerah penghasil minyak agar tidak ada yang ditutupi-tutupi.

Masuklah pada bagian yang paling menegangkan, yaitu ketika Bupati Kepulauan Meranti berbicara dan menanyakan kembali ke mana uang mereka dari hasil eksplorasi minyak. Pak Bupati menyampaikan bahwa Kepulauan Meranti merupakan penghasil minyak yang besar, bahkan beberapa tahun belakangan ini keuntungan dari eksplorasi minyak sangat besar sesuai dengan harga minyak dunia yang mengalami kenaikan. Beliau mempertanyakan mengapa DBH SDA yang diperoleh Kepulauan Meranti hanya sedikit. Pak Dirjen terus menjelaskan pembagian sesuai dengan UU HKPD berkali-kali, namun jawaban tersebut tidak dapat diterima oleh Bapak Bupati. Beliau mengatakan hal yang buruk terkait Kementerian Keuangan, Pak Bupati berkata bahwa rakyatnya miskin, namun hasil buminya tidak ia terima. Ia menyatakan pula bahwa jika pemerintah pusat tidak mampu mengurus Kepulauan Meranti, maka ia meminta diserahkan saja ke negara tetangga atau mereka siap mengangkat senjata.

Sesungguhnya, aku cukup shock mendengar ucapan Bapak Bupati ini. Pada awalnya aku sangat mendukung transparansi, namun berbalik menjadi kekecewaan. Ucapan Pak Bupati ini terasa egois, serakah, dan radikal tapi mengatasnamakan rakyat. Menurutku, para pemimpin daerah pasti tahu bahwa sektor primer apalagi ekstraksi SDA tidak dapat diandalkan untuk kemajuan masyarakat. Hal ini dikarenakan SDA merupakan sumber daya yang tidak sustainable dan akan habis serta membutuhkan keahlian khusus yang mungkin masyarakat lokalnya tidak mempunyai kemampuan hal tersebut. Seharusnya, pemimpin daerah bisa berpikir sesuai transformasi ekonomi yang mana sektor sekunder atau sektor tersier yang jadi sektor basis daerahnya. Proses transformasi ini pun memang tidak mudah, butuh waktu dan bergerak bertahap.

Sebelum aku mengecek data APBD Kepulauan Meranti, aku yakin sekali bahwa APBD-nya tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Pas aku cek, ya memang benar saja. Kepulauan Meranti sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Jika dilihat dari postur belanjanya, pastinya belanja pegawai dan belanja barang jasa menjadi terbesar pertama dan kedua. Sangat terbaca sekali bahwa belanja daerahnya tidak berdampak langsung kepada masyarakat, kemungkinan hanya digunakan untuk kepentingan pemerintahan. Masyarakat Kepulauan Meranti akan tetap menjadi miskin karena pengelolaan keuangan daerahnya pun tren-nya sama dari tahun ke tahun.

Hal yang mengejutkan lagi adalah ketika Pak Bupati meminta diserahkan ke negara tetangga atau mereka angkat senjata. Hal ini paling mengagetkan dan kocak menurutku. Kalau mereka ingin merdeka sih oke oke aja tapi kalau minta diserahkan ke negara tetangga, berarti Pak Bupati ini juga tidak yakin bisa merdeka dan membuat rakyatnya sejahtera, malah mau menggantungkan diri pada negara tetangga. Nilai nasionalisme pimpinan daerah ini sangat melehoy, harusnya bisa memberikan kepercayaan bagi masyarakat bahwa Beliau punya inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan, tanpa  bergantung pada dana transfer atau bahkan bergantung pada negara lain. Sebenarnya, bisa saja Beliau menghentikan semua aktivitas pertambangan yang ada di wilayahnya, kemudian memberikan kemudahan bagi perusahaan atau masyarakat lokal untuk mengelola dan menjual SDA. Andai saja Beliau berani melakukan hal tersebut, aku sangat mengacungkan jempol.

Satu hal lagi yang membuat aku ragu, jika semua hasil SDA diberikan pada daerah penghasil, apakah benar belanja daerahnya akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat? Dengan Beliau menginginkan hasil SDA-nya dikembalikan 100% kepada daerah ada potensi keserakahan. Menurutku akan terjadi kesenjangan yang semakin tinggi. Konflik kepentingan akan terjadi, kekayaan hanya dimiliki oleh para pejabat dan pengusaha tambang sedangkan rakyat jelata akan tetap miskin dan sulit lepas dari jerat kemiskinan.

Aku berharap Beliau bisa berpikir lebih jernih dan bersifat adil seperti namanya.

Sabtu, 10 Desember 2022

Aku dan Jerawat






Akhirnya setelah sekian lama, aku mengalami permasalahan jerawat kembali. Sesungguhnya hingga saat ini permasalahan jerawatku yang hampir setahun ini belum usai, malah cenderung semakin parah setelah aku terkena Covid di September yang lalu. Sesungguhnya aku sedikit frustasi juga karena wajahku yang mulus hanya menjadi sejarah.

November 2021 jidatku mulai dihuni dua jerawat bengkak. Pada saat itu aku tidak tahu penyebabnya apa. Mungkin karena stress karena aku mengalami permasalahan di kantor. Sebagian aku percaya karena skincare yang aku pakai lama, yaitu Garnier sudah resisten terhadap kulitku. Komedo putih pun menghiasi jidatku menjadikan kulitku terasa kasar walaupun secara penampakan, wajahku masih bisa diterima oleh khalayak umum.

Seringkali aku pencet komedo-komedo itu. Aku merasa permasalahannya adalah di sumbatan tersebut. Dulu-dulu, ketika aku pencet komedo, permasalahan selesai. Namun kali ini kasusnya berbeda, flek hitam jadi tanda bekas dipencet. Hingga Mei 2022 setelah skincare-ku habis, aku memutuskan untuk mengganti produk. Aku menggunakan sabun muka Kahf dan serum Implora untuk menghilangkan flek hitam bekas komedo. Setelah pemakaian sekitar 2 bulan, tidak ada pengaruhnya sama sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti sabun muka dengan Love Beauty and Planet yang scrub-nya kasar banget. Awal-awal sakit sih, tapi lama-lama terbiasa. Namun setelah menggunakan itu dan repurchase dengan yang tidak ada scrub-nya tidak ada perubahan sama sekali.

Hingga di September 2022, aku terkena Covid. Aku sempat berpikir mungkin isoman di rumah jadi kunci pembersihan diri agar terbebas dari jerawat. Hal ini karena selama 10 hari aku tidak akan keluar rumah, aku tidak berolahraga dan tidak mengkonsumsi susu protein, aku tidak menggunakan skincare apapun kecuali sabun muka, dan aku tidak jajan yang aneh-aneh. Tapi kenyataanya setelah Covid, mukaku, malah semakin parah. Jerawat semakin meradang terutama di area pelipis. Komedo tumbuh di seluruh area jidat, tak lupa pula dengan flek hitam yang mewarnai jidat dan pelipisku. Mengganti skincare dengan Rejukiss sudah aku lakukan, hingga aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan Somethinc yang retinol. Itu atas rekomendasi temanku. Agak membaik, tapi belum sembuh sutuhnya. Jerawat yang meradang mulai bisa dihitung jari, hanya saja flek hitamnya sulit hilang. Setiap bercermin agak sebal memang, tapi aku harus menerima diri.

Berdasarkan informasi yang aku cari tahu dan diberitahu teman, kemungkinan terbesar adalah karena ketidakseimbangan hormon. Setahun ini aku rajin fitness dan mengkonsumsi susu protein. Akupun bingung bagaimana cara menyeimbangkan hormon itu. Sementara ini, aku menjalani kehidupan seperti biasa saja, mencoba untuk tidak stress dan mengontrol diri.

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku tentang Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepatn...