Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul Intercultural Communication, jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepatnya proses pembelajaran komunikasi yang terjadi dalam diri aku. Aku pikir ini menjadi penting baik bagi proses pengembangan diri maupun pengembangan pada anak-anak yang akan kita miliki.
Ketika mencoba melakukan asesmen terkait kekhawatiran dalam komunikasi, hampir semua jawabannya adalah sangat khawatir. Artinya, aku mengalami kekhawatiran yang sangat tinggi ketika harus bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain. Rasa khawatir itu lebih ke takut apa yang aku inginkan dalam komunikasi itu tidak tercapai.
Misalnya, aku gugup ketika akan bertemu dengan atasan. Sebelum bertemu sering kali aku berlatih dulu apa yang akan aku sampaikan. Bahkan jika rasa takutku sangat tinggi, aku memilih untuk tidak bertemu atasan. Padahal tujuan aku ingin bertemu atasan untuk meminta izin cuti. Rasa takut ini tidak terjadi pada semua atasan, hanya atasan tertentu yang menurutku memiliki mood swing.
Contoh lainnya adalah ketika bertemu dengan orang yang tidak dikenal. Semisal aku tersesat aku lebih percaya google dibandingkan bertanya. Ada ketakutan berbicara ngalor ngidul dan ditanya hal-hal personal yang tidak aku ingin jawab. Kadang pula aku merasa dicurigai oleh orang lain ketika aku mau bertanya sesuatu.
Satu contoh lagi adalah ketika aku harus menjelaskan hal yang tidak aku pahami dengan baik. Rasa takutku pada orang yang bertanya detil dan aku tidak dapat menjawabnya. Rasa takut dianggap bodoh pun sangat besar. Sehingga aku cukup menghindari komunikasi semacam itu.
Tapi dibalik itu semua. Aku ingin bisa berbicara dan menjelaskan sesuatu pada orang banyak. Hanya saja untuk berkomunikasi dengan orang yang belum dikenal atau yang tidak selevel butuh persiapan yang lebih matang.
Dalam bukunya Neuliep yang berjudul Intercultural Communication A Contextual Approach, mengatakan ada empat tipe kekhawatiran komunikasi, yaitu:
- Kebiasan atau sifat seseorang. Pada dasarnya orang itu memang punya sifat yang tertutup selama bertahun-tahun. Inilah yang menyebabkan orang ini khawatir jika akan melakukan komunikasi dengan orang lain.
- Kekhawatiran karena konteks tertentu. Jika ada tema atau pembahasan tertentu orang ini akan menjadi panik dalam berkomunikasi.
- Kekhawatiran karena audiensnya.
- Kekahwatiran yang tergantung situasi, ini gabungan antaran kekhawatiran konteks dan audiens.
Dari keempat tipe tersebut, aku tergolong keempatnya. Jika melihat ke belakang, aku cenderung orang yang tertutup dan membatasi diri dalam berkomunikasi. Padahal aku ingin sekali bisa menjadi orang yang ekstrover. Hanya ada satu hal yang mengganjal dalam diri, yaitu nama.
Sebentar, kalau bahas ini aku harus inhale and exhale dulu.
Yes, aku memiliki nama yang umumnya diberikan kepada seorang anak perempuan. Di masa kecil khususnya sekolah dasar, benteng antara laki-laki dan perempuan itu sangat tinggi. Jadi apabila ada suatu gender memakan atribut gender lainnya, itu akan menjadi bulan-bulanan anak sekolah. Yes, it's happen to me. Ketika seorang anak laki-laki menggunakan nama anak perempuan, ditambah acara televisi saat itu mendukung bahwa namaku itu seharusnya digunakan oleh seorang perempuan. P{ada waktu itu, orang tuaku tak bisa membantu apa-apa termasuk menguatkan anak laki-lakinya. Hal ini membuat muncul ketidakpercayaan diri yang amat besar khususnya setiap harus memperkenalkan diri dan menyebutkan nama.
Semakin dewasa tentu rasa kekhawatiran itu semakin berkurang. Namun, tentu mengingat masa-masa sebelumnya yang mana aku diejek, kemudian ada rasa sesal akibat hal itu membuat banyak impianku menjadi orang yang bisa berkarya menjadi terpendam. Hal tersebut membuat rasa percaya diri saat dewasa tetap tidak maksimal. Takut salah itu sering terjadi, jadinya merembet dan menyentuk tipe kekhawatiran nomor 2 hingga 4.
Aku tahu sekali, semua ini bisa diubah pelan-pelan. Namun butuh proses, karena benar kata psikolog yang pernah aku temui, semua ini karena pola asuh yang bisa menjadi trauma tersendiri bagi individu sepertiku. Memang aku bisa bertahan dari gempuran orang-orang yang selalu bilang, "kamu bisa div, itu mudah". Yes, i know i can change and be well-communicate. Tapi semua itu butuh proses dan tidak seperti kalian yang bisa dengan mudah mendapatkan apa yang kalian inginkan.
Sedikit menyentil orang tua yang memberikan nama asal pada anaknya. Aku tahu kalian sungguh kreatif, tapi tolong, berilah nama yang baik untuk anak. Jangan aneh-aneh. Berpikirlah ke depan, apakah dengan nama seperti itu, anak akan mendapat tekanan dari teman-temannya atau tidak. Hal ini harus dipikirkan untuk masa depan si anak.
Aku tidak menyalahkan orang tuaku memberikan nama padaku. Aku memakluminya karena keterbatasan informasi pada saat itu. Aku mencoba lebih percaya diri dengan menggunakan nama itu, tapi memang terkadang bekas luka sering terasa ketika ada yang mempertanyakan, "Kenapa namanya Diva?", "Aku pikir Diva itu perempuan". Tapi untuk saat ini, aku menganggap mereka yang mempertanyakan hal tersebut sebagai candaan semata, meskipun terkadang membuat sedikit sesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar